Oleh Try Harijono & Ahmad Arif
Di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung, Sabtu (23/6) sore. Surono
(56) tengah duduk berhadapan dengan istrinya di sebuah kedai kopi.
Akhir pekan merupakan kesempatan baginya bersama istri yang selalu
ditinggalkan bertugas.
Semua pengunjung di sekitar tampak asyik bercengkerama. Namun, Surono
malah asyik mencermati tiga telepon genggamnya satu per satu.
Sementara istrinya menunggu sambil sesekali mengamati suami di
hadapannya.
Tiga telepon seluler yang berjejer di atas meja adalah media akses
untuk memantau laporan pengamatan anak buahnya, menghubungi ke kantor
pusat, dan melaporkan ke atasannya. Meja kedai itu seketika berubah
menjadi meja kerja.
Empat gunung api yang tengah berstatus Siaga memang telah menyita
waktunya bersama keluarga. Sebab, Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, harus segera
mengubah status gunung itu menjadi Awas jika gunung menunjukkan
peningkatan aktivitas.
Apabila itu terjadi, ia harus cepat mengeluarkan surat resmi yang
dibubuhi tanda tangannya untuk dikirim ke kepala daerah yang daerahnya
terdampak. Berdasarkan surat "sakti" ini, semua pihak terkait,
termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kemudian mengerahkan
bantuan ke lokasi.
Dalam kondisi demikian, Surono mengakui sering mengalami stres.
Apalagi jika sampai gunung api itu naik ke status Awas, ia pun kadang
bisa dihinggapi insomnia, tidak tidur selama beberapa hari.
Mengurusi ratusan gunung memang membuat waktunya habis tersita. Setiap
hari, ayah dua putra ini harus pulang di atas pukul 21.00. Tidak
jarang pula ia harus keluar kota dalam waktu beberapa hari menuju
lokasi gunung yang tengah "mengancam".
Mendampingi profesor
Jalan hidup Surono mungkin tidak akan sampai ke gunung apabila ia
tidak mendampingi seorang profesor dari Belanda pada tahun 1982 untuk
meninjau Gunung Galunggung yang baru meletus. "Ketika itu banyak
penduduk yang mengungsi dan mendadak jatuh miskin karena seluruh harta
benda mereka hilang ditelan bumi," ujarnya.
Melihat dampak letusan gunung berapi itu, tak lama Surono mengajukan
surat pengunduran diri sebagai dosen Fisika Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang ditekuninya. Ia lalu mendaftar di Badan Geologi.
Cita-citanya ketika itu adalah menerapkan teknik fisika untuk memantau
perilaku gunung berapi. Dengan mengembangkan teknik pemantauan gunung
berapi, setiap perubahan perilakunya dapat diketahui. Hal ini berguna
untuk mengembangkan mitigasi bencana gunung api sehingga korban jiwa
akibat bencana letusan dapat ditekan.
Gunung Kelud di Jawa Timur ibarat kawah candradimuka, yang menggodok
kepakaran Surono soal gunung api. Kelud mengantarkan Surono meraih
gelar master dan doktor dari Université Joseph Fourier, Grenoble,
Perancis, karena penelitiannya tentang instrumen akustik untuk
memantau kondisi Kelud saat gunung itu meletus pada tahun 1990. "Kelud
adalah titik balik bagi saya, juga bagi PVMBG," kata Surono.
Selain pengamatan secara ilmiah, menurut Surono, kearifan lokal pun
perlu menjadi dasar pertimbangan. Meneliti aktivitas gunung berapi
dengan mengukur parameter bising akustik menjadi obyek penelitian
doktornya.
Ketika mengalami tekanan yang sangat tinggi oleh magma, batuan itu
seolah "menjerit" yang ditunjukkan dengan keluarnya frekuensi yang
sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan banyak binatang berperilaku
aneh dan pergi menjauh dari sekitar gunung. "Perubahan perilaku
binatang ini dapat menjadi indikator untuk upaya peringatan dini,"
ujarnya.
Membaca alam dengan dasar fisika, itulah yang mendasari anak seorang
peternak sapi di Sidareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ini
mendalami ilmu tersebut di ITB tahun 1976. Pilihannya menjadi peneliti
kegunungapian merupakan profesi yang langka. Sebab, tidak banyak
mahasiswa yang tertarik menekuni bidang pekerjaan yang sulit dan tidak
menjanjikan pendapatan memadai.
Internet diputus
Keprihatinan Surono adalah terbatasnya infrastruktur dan tenaga ahli
untuk pemantauan gunung api. Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi
hanya memiliki 45 pengamat gunung api sehingga satu orang harus
memantau lima gunung api. Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Satu
gunung dipantau lima pengamat dan satu di antaranya berpredikat
profesor.
"Kita punya gunung api terbanyak di dunia, tetapi alat pemantauan dan
tenaga ahlinya sangat minim," kata Surono.
Sebagai pejabat, Surono memang tidak mau menutupi fakta dan masalah
yang dihadapinya. Suatu malam, kami bertemu di pusat pemantauan gunung
api seluruh Indonesia di kantornya, Bandung. Surono terlihat geram
karena dia tidak bisa memantau aktivitas gunung-gunung api yang
sebagian di antaranya menunjukkan peningkatan aktivitas.
"Jaringannya diputus. Internetnya tidak dibayar. Beritakan saja, Mas,
biar publik tahu," kata Surono.
"Negara ini hanya mau bayar murah, tetapi maunya selamat," katanya.
Meski menghadapi banyak kendala, Surono terus berusaha mengembangkan
kemampuan terutama staf yang membantunya dalam hal pemantauan dan
mitigasi bencana. Saat ini di pusat pemantauan yang dipimpinnya
terjadi kesenjangan pengetahuan dan pengalaman antara tenaga senior
dan yunior. Hal ini kadang menimbulkan kendala di lapangan.
Penambahan tenaga pengamat kerap kali diusulkan Surono kepada
pimpinan. Namun, hal ini belum juga dikabulkan. Ia menyadari kendala
yang dihadapi, selain persoalan dana, ketertarikan orang terhadap
pekerjaan sebagai pengamat gunung api memang rendah.
Sejak tahun 2006, ia memegang jabatan sebagai Kepala Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi. Kini ia merasa sudah waktunya untuk
istirahat. Karena itu, ia telah menyiapkan penggantinya kelak.
"Kalau nanti tidak aktif lagi, saya pasti akan patah hati," ujarnya.
Belum ada bayangan dalam benaknya apa yang akan dilakukan kelak jika
telah pensiun.
Selama menjadi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
dengan rendah hati Surono mengakui mengalami beberapa kali kegagalan.
"Saya sedih jika sampai ada korban jiwa pasca-peringatan yang
dikeluarkan," kata Surono.
"Berarti saya gagal meyakinkan warga pada kondisi bahaya yang ada dan
meminta mereka untuk mengungsi," ujarnya.
Meski begitu, ia terus berupaya mengembangkan kemampuannya, termasuk
dalam hal nonteknis berdialog dan melakukan pendekatan kepada
masyarakat. Surono, menjaga gunung api dengan hati....
• Nama lengkap: SURONO • Lahir: Cilacap, Jawa Tengah, 8 Juli 1955 •
Istri: Sri Surahmani (46) • Anak: 1. Amy Rahmawati (28) 2. Bestri
Aprilia (21) • Pendidikan: - S-1 Institut Teknologi Bandung, Jurusan
Fisika (1982) - S-2 dan S-3 Université Joseph Fourier, Grenoble,
Perancis, Programme Mecanique Milieux Geophysique et Enveronnement
(1986-1992) • Pekerjaan: - Bekerja di lingkungan PVMBG (dulu
Direktorat Vulkanologi), Kementerian ESDM, sejak 1982 - Kepala
Subdirektorat Mitigasi, Bencana Geologi (2003) - Kepala PVMBG (2006)
http://cetak.kompas.com/read/ 2012/06/27/02354148/menjaga. gunung.dengan.hati
Di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung, Sabtu (23/6) sore. Surono
(56) tengah duduk berhadapan dengan istrinya di sebuah kedai kopi.
Akhir pekan merupakan kesempatan baginya bersama istri yang selalu
ditinggalkan bertugas.
Semua pengunjung di sekitar tampak asyik bercengkerama. Namun, Surono
malah asyik mencermati tiga telepon genggamnya satu per satu.
Sementara istrinya menunggu sambil sesekali mengamati suami di
hadapannya.
Tiga telepon seluler yang berjejer di atas meja adalah media akses
untuk memantau laporan pengamatan anak buahnya, menghubungi ke kantor
pusat, dan melaporkan ke atasannya. Meja kedai itu seketika berubah
menjadi meja kerja.
Empat gunung api yang tengah berstatus Siaga memang telah menyita
waktunya bersama keluarga. Sebab, Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, harus segera
mengubah status gunung itu menjadi Awas jika gunung menunjukkan
peningkatan aktivitas.
Apabila itu terjadi, ia harus cepat mengeluarkan surat resmi yang
dibubuhi tanda tangannya untuk dikirim ke kepala daerah yang daerahnya
terdampak. Berdasarkan surat "sakti" ini, semua pihak terkait,
termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kemudian mengerahkan
bantuan ke lokasi.
Dalam kondisi demikian, Surono mengakui sering mengalami stres.
Apalagi jika sampai gunung api itu naik ke status Awas, ia pun kadang
bisa dihinggapi insomnia, tidak tidur selama beberapa hari.
Mengurusi ratusan gunung memang membuat waktunya habis tersita. Setiap
hari, ayah dua putra ini harus pulang di atas pukul 21.00. Tidak
jarang pula ia harus keluar kota dalam waktu beberapa hari menuju
lokasi gunung yang tengah "mengancam".
Mendampingi profesor
Jalan hidup Surono mungkin tidak akan sampai ke gunung apabila ia
tidak mendampingi seorang profesor dari Belanda pada tahun 1982 untuk
meninjau Gunung Galunggung yang baru meletus. "Ketika itu banyak
penduduk yang mengungsi dan mendadak jatuh miskin karena seluruh harta
benda mereka hilang ditelan bumi," ujarnya.
Melihat dampak letusan gunung berapi itu, tak lama Surono mengajukan
surat pengunduran diri sebagai dosen Fisika Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang ditekuninya. Ia lalu mendaftar di Badan Geologi.
Cita-citanya ketika itu adalah menerapkan teknik fisika untuk memantau
perilaku gunung berapi. Dengan mengembangkan teknik pemantauan gunung
berapi, setiap perubahan perilakunya dapat diketahui. Hal ini berguna
untuk mengembangkan mitigasi bencana gunung api sehingga korban jiwa
akibat bencana letusan dapat ditekan.
Gunung Kelud di Jawa Timur ibarat kawah candradimuka, yang menggodok
kepakaran Surono soal gunung api. Kelud mengantarkan Surono meraih
gelar master dan doktor dari Université Joseph Fourier, Grenoble,
Perancis, karena penelitiannya tentang instrumen akustik untuk
memantau kondisi Kelud saat gunung itu meletus pada tahun 1990. "Kelud
adalah titik balik bagi saya, juga bagi PVMBG," kata Surono.
Selain pengamatan secara ilmiah, menurut Surono, kearifan lokal pun
perlu menjadi dasar pertimbangan. Meneliti aktivitas gunung berapi
dengan mengukur parameter bising akustik menjadi obyek penelitian
doktornya.
Ketika mengalami tekanan yang sangat tinggi oleh magma, batuan itu
seolah "menjerit" yang ditunjukkan dengan keluarnya frekuensi yang
sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan banyak binatang berperilaku
aneh dan pergi menjauh dari sekitar gunung. "Perubahan perilaku
binatang ini dapat menjadi indikator untuk upaya peringatan dini,"
ujarnya.
Membaca alam dengan dasar fisika, itulah yang mendasari anak seorang
peternak sapi di Sidareja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ini
mendalami ilmu tersebut di ITB tahun 1976. Pilihannya menjadi peneliti
kegunungapian merupakan profesi yang langka. Sebab, tidak banyak
mahasiswa yang tertarik menekuni bidang pekerjaan yang sulit dan tidak
menjanjikan pendapatan memadai.
Internet diputus
Keprihatinan Surono adalah terbatasnya infrastruktur dan tenaga ahli
untuk pemantauan gunung api. Indonesia yang memiliki 127 gunung berapi
hanya memiliki 45 pengamat gunung api sehingga satu orang harus
memantau lima gunung api. Kondisi sebaliknya terjadi di Jepang. Satu
gunung dipantau lima pengamat dan satu di antaranya berpredikat
profesor.
"Kita punya gunung api terbanyak di dunia, tetapi alat pemantauan dan
tenaga ahlinya sangat minim," kata Surono.
Sebagai pejabat, Surono memang tidak mau menutupi fakta dan masalah
yang dihadapinya. Suatu malam, kami bertemu di pusat pemantauan gunung
api seluruh Indonesia di kantornya, Bandung. Surono terlihat geram
karena dia tidak bisa memantau aktivitas gunung-gunung api yang
sebagian di antaranya menunjukkan peningkatan aktivitas.
"Jaringannya diputus. Internetnya tidak dibayar. Beritakan saja, Mas,
biar publik tahu," kata Surono.
"Negara ini hanya mau bayar murah, tetapi maunya selamat," katanya.
Meski menghadapi banyak kendala, Surono terus berusaha mengembangkan
kemampuan terutama staf yang membantunya dalam hal pemantauan dan
mitigasi bencana. Saat ini di pusat pemantauan yang dipimpinnya
terjadi kesenjangan pengetahuan dan pengalaman antara tenaga senior
dan yunior. Hal ini kadang menimbulkan kendala di lapangan.
Penambahan tenaga pengamat kerap kali diusulkan Surono kepada
pimpinan. Namun, hal ini belum juga dikabulkan. Ia menyadari kendala
yang dihadapi, selain persoalan dana, ketertarikan orang terhadap
pekerjaan sebagai pengamat gunung api memang rendah.
Sejak tahun 2006, ia memegang jabatan sebagai Kepala Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi. Kini ia merasa sudah waktunya untuk
istirahat. Karena itu, ia telah menyiapkan penggantinya kelak.
"Kalau nanti tidak aktif lagi, saya pasti akan patah hati," ujarnya.
Belum ada bayangan dalam benaknya apa yang akan dilakukan kelak jika
telah pensiun.
Selama menjadi Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
dengan rendah hati Surono mengakui mengalami beberapa kali kegagalan.
"Saya sedih jika sampai ada korban jiwa pasca-peringatan yang
dikeluarkan," kata Surono.
"Berarti saya gagal meyakinkan warga pada kondisi bahaya yang ada dan
meminta mereka untuk mengungsi," ujarnya.
Meski begitu, ia terus berupaya mengembangkan kemampuannya, termasuk
dalam hal nonteknis berdialog dan melakukan pendekatan kepada
masyarakat. Surono, menjaga gunung api dengan hati....
• Nama lengkap: SURONO • Lahir: Cilacap, Jawa Tengah, 8 Juli 1955 •
Istri: Sri Surahmani (46) • Anak: 1. Amy Rahmawati (28) 2. Bestri
Aprilia (21) • Pendidikan: - S-1 Institut Teknologi Bandung, Jurusan
Fisika (1982) - S-2 dan S-3 Université Joseph Fourier, Grenoble,
Perancis, Programme Mecanique Milieux Geophysique et Enveronnement
(1986-1992) • Pekerjaan: - Bekerja di lingkungan PVMBG (dulu
Direktorat Vulkanologi), Kementerian ESDM, sejak 1982 - Kepala
Subdirektorat Mitigasi, Bencana Geologi (2003) - Kepala PVMBG (2006)
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar