Oleh Abdullah Haidir
Menyambut Asyrul Awakhir Ramadan... saya postingkan lagi tulisan tentang I'tikaf... moga bermanfaat...
Hukum dan Adab I'tikaf
Definisi:
I'tikaf (الاعتكاف) dari segi bahasa berasal dari kata (العكوف). Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama.
Seperti firman Allah dalam surat Al-Anbiya: 52 dan surat Asy-Syu'ara: 71.
Sedangkan dari segi istilah,
yang dimaksud i'tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat
beribadah.
Landasan Hukum:
Syariat I'tikaf dinyatakan
dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
serta para sahabat.
-
Dalam surat Al Baqarah ayat
125 Allah Ta'ala berfirman,
أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (سورة البقرة: 135)
"…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang
thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Albaqarah: 125)
Aisyah radhiallahu anha berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ
اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ (متفق عليه)
"Sesungguhnya
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir
Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I'tikaf
sesudahnya." (Muttafaq alaih).
Para ulama sepakat bahwa i'tikaf adalah perbuatan
sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk
i'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya.
Lama i'tikaf dan Waktunya
Pendapat yang kuat bahwa lama I'tikaf minimal
sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau
menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa dirinya di
masa jahiliah pernah bernazar untuk I'tikaf di Masjidilharam selama satu malam,
maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikan nazarmu." (HR. Abu Daud dan
Tirmizi)
Ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa I'tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di
masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak
sesuai dengan makna I'tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam
waktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa i'tikaf
boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I'tikaf dilakukan tidak
kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam dan para shahabat bahwa mereka melakukan i'tikaf kurang dari sehari.
Sedangkan lama maksimal i'tikaf tidak ada batasnya
dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung
jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di tahun wafatnya
pernah melakukan I'tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Adapun waktu i'tikaf, berdasarkan jumhur ulama,
sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan i'tikaf
di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah i'tikaf di
awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR. Muslim). Namun waktu i'tikaf yang
paling utama dan selalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lakukan hingga
akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Masjid Tempat I'tikaf
Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i'tikaf
adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama
lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi
jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil
Aqsha.
Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa i'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di
dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Disamping, jika i'tikaf
dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan
dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan
sering keluar tempat i'tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain.
Yang dimaksud masjid sebagai tempat i'tikaf
adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung
dengan masjid serta dibatasi pagar masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang,
atau kantor di dalam masjid.
Secara tekni, akan lebih baik jika masjidnya
memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta i'tikaf, seperti tempat MCK yang
cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur
dan menyimpan barang bawaan.
Kapan mulai I'tikaf pada sepuluh hari terakhir
Ramadan dan kapan berakhir?
Jumhur ulama berpendapat bahwa i'tikaf dimulai
sejak sebelum matahari terbenam di malam ke-21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan
bahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan
termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar. Ada juga yang berpendapat bahwa awal i'tikaf
dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah ra
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika hendak i'tikaf, beliau
shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat i'tikafnya (HR. Muslim).
Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama
berpendapat bahwa i'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan
shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu i'tikaf berakhir sejak matahari
terbenam di hari terakhir Ramadan.
I'tikaf Bagi Wanita
Wanita dibolehkan melakukan I'tikaf berdasarkan
keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan i'tikaf. Terdapat juga
riwayat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan Aisyah dan
Hafshah untuk melakukan I'tikaf (HR. Bukhari)
Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita
yang hendak melakukan I'tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya,
atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat
khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas.
Keluar dari Masjid saat I'tikaf
Secara umum, orang yang sedang i'tikaf tidak
boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang
membuatnya harus keluar dari masjid.
Aisyah radhillahu anha berkata,
وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ
الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
(متفق عليه)
"Adalah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyorongkan kepalanya kepadaku
sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak
masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan, jika sedang I'tikaf." (Muttafaq
alaih)
Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak
sehingga seorang yang i'tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum,
shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat
dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.
Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal
tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk
melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian
meneruskan kembali i'tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang
mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf.
Akan tetapi jika seseorang keluar dari area
masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung,
dll. Maka i'tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat i'tikaf lagi dari
awal.
Bahkan,
orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk
orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan
Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud).
Pembatal I'tikaf
Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa
yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat
bahwa berjimak membatalkan I'tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan
bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun
jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan.
Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar
dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap
membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I'tikaf,
walaupun dia masih berdiam di masjid.
Seseorang dibolehkan membatalkan I'tikafnya dan
tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika tidak ada alasan mendesak,
hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya
diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya.
Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang
Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam
ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah,
talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara
atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i'tikaf,
sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau i'tikaf dan berbicara
dengannya beberapa saat. Dibolehkan pula membersihkan diri dan merapikan
penampilan sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disisirkan
Aisyah ra, saat beliau I'tikaf.
Dilarang saat I'tikaf menyibukkan diri dalam
urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah
atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat
hp dan semacamnya.
Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau
dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.
Filosofi I'tikaf
I'tikaf, selain dikenal sebagai salah satu ibadah
yang dianjurkan dalam Islam, dia merupakan ajaran yang direkomendasi syariat
bagi mereka yang ingin lebih berkonsentrasi untuk membersihkan dan membina
jiwanya agar hubungannya kepada Allah lebih kuat. Juga agar ketergantungannya
terhadap dunia tidak mendominasi dirinya. Diharapkan, dengan I'tikaf, akan
lahir kesadaran dalam jiwa seorang muslim, bahwa kebersihan hati dan jiwa yang
tidak didominasi tuntutan duniawi merupakan syarat utama untuk mendapatkan
keselamatan hidup, di dunia maupun akhirat.
Jika pada ajaran lain terdapat ajaran meditasi,
bertapa atau semacamnya untuk membersihkan hati dan menimbulkan konsentrasi,
maka hal seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam karena tidak ada dalil yang
mengajarkannya. Disamping, banyak praktek ibadah yang telah diajarkan memiliki
fungsi seperti itu, dan I'tikaf termasuk di dalamnya. Kalaupun Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam pernah melakukan khulwah (menyendiri) di goa
Hira, hal itu beliau lakukan sebelum menerima wahyu. Adapun setelah dirinya
diangkat menjadi seorang Nabi, maka beliau tidak lagi melakukan khulwah dan
tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan seperti yang pernah beliau lakukan di
goa Hira.
Dalam konteks zaman sekarang, i'tikaf merupakan
jawaban aplikatif atas budaya masyarakat yang cenderung mengakhiri bulan
Ramadan dengan meninggalkan masjid dan beralih ke pusat-pusat perbelanjaan...
maka, melakukan i'tikaf pada zaman sekarang, dapat dikatagorikan sebagai
tindakan menghidupkan sunah yang telah banyak diabaikan masyarakat...
Wallahua'lam bishshaawab
Maraji;
- Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, Imam Nawawi rahimahullah.
- Al-Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah.
- Hiwar fil I'tikaf Ma'a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin,
rahimahullah.
- Fiqhul I'tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih.
0 komentar:
Posting Komentar