Seorang ulama Mesir, Hasan Al-Banna mengungkapkan perasaannya, sebagaimana dikutip dalam Risalah Ta’alim bab Dakwah Kami, dengan kalimat, "Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui, bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan.” Lebih lanjut beliau juga mengungkapkan, “Sungguh kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta.”
Ungkapan ini kemudian beliau lahirkan pula dalam tindak perbuatan kehidupan sehari-hari sebagai bukti cinta kepada saudaranya sesama manusia dan terlebih lagi bukti cintanya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak (sempurna) iman seorang diantara kalian sampai dia mencintai saudaranya, atau dia mengatakan tetangganya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Sahih Muslim nomor 64), Selanjutnya Rasulullah SAW juga bersabda,” Tidak (sempurna) iman seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya.” (Sahih Muslim nomor 63)
Mungkin kita sering sulit menggambarkan bagaimana seseorang bisa mencintai orang lain sama seperti mencintai dirinya sendiri atau bahkan lebih daripada dirinya sendiri. Umumnya manusia memiliki ego sentris yang memusatkan segala perhatian hanya kepada dirinya sendiri dan bagaimana mendapat segala kesenangan dan kebahagian bagi dirinya sendiri. Namun dengan pernyataan Hasan Al-Banna ini kita bisa mendapat sedikit gambaran tentang bagaimana kita mengamalkan hadits Rasulullah diatas.
Dakwah yang kita lakukan diharapkan bisa menjadi salah satu manifestasi dari bukti cinta kita kepada saudara kita dan terutama kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana ungkapan Hasan Al-Banna tentang bagaimana cintanya kepada manusia sampai dia mengorbankan dirinya untuk dakwah itu sendiri. Demikianlah sebenarnya yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan beliau yang sepenuhnya dicurahkan untuk dakwah. Berbagai penderitaan beliau tanggung hanya agar indahnya Islam dan manisnya iman tidak beliau rasakan sendiri tapi juga dapat dinikmati oleh manusia yang lainnya.
Kita ingat bagaimana kisah ketika Rasulullah SAW dilempari oleh orang-orang Thaif dan kemudian malaikat penjaga gunung datang kepada beliau dengan tawaran untuk membinasakan penduduk Thaif ketika itu. Tapi sungguh menakjubkan jawaban beliau ketika malaikat penjaga gunung di dekat Thaif berkata kepada beliau:
يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Artinya: “Wahai Muhammad Sesunguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepada engkau dan saya malaikat (penjaga) gunung sungguh aku telah diutus oleh Tuhanmu memerintahkan aku apa yang engkau kehendaki. Jika engkau menghendaki untuk menimpakan akhsyabaini (dua gunung) ini kepada mereka.” Maka Rasulullah menjawab,”Bahkan aku sangat berharap akan keluar dari sulbi mereka orang yang menyembah Allah dan tidak mensyerikatkannya dengan sesuatupun.” (Sahih Muslim No 3352)
Pada kesempatan yang lain digambarkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Surah Al-Maidah ayat 118 bahwa ketika Rasulullah SAW membaca ayat ini yang artinya,”Jika Engkau meng-adzab mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,” maka beliau mengangkat tangan beliau sembari berkata, “Allahumma umatku,” sembari beliau menangis. Sampai kemudian Allah SWT memerintahkan Jibril datang kepada Rasulullah SAW untuk menanyakan mengapa beliau menangis padahal Allah Maha Mengetahui.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah pernah mengungkapan cinta dan kerinduannya kepada umatnya dengan sabda beliau, “Aku rindu bertemu dengan saudaraku.” Para sahabat berkata,”Bukankah kami ini saudaramu?” (Beliau menanggapi) ”Kalian adalah sahabatku, adapun saudaraku adalah yang beriman kepadaku namun belum pernah bertemu denganku.” (as-Silsilah ash-Shahihah Syaih Albani 2888).
Saudaraku, dapatkah anda membayangkan betapa besarnya kira-kira cinta beliau SAW kepada kita umatnya ini. Cinta beliau kepada kitalah yang membuat beliau mau dan mampu, dengan taufik Allah SWT, melalui penderitaan dengan tetesan darah dan airmata bahkan korban jiwa sekalipun. Lebih dari itu cinta beliau tidak hanya meliputi orang yang pernah bertemu dengan beliau saja tapi bahkan sampai orang yang tidak pernah bertemu dengan beliau juga mendapat curahan cinta beliau. Kita berharap semoga kita termasuk orang yang dicintai oleh beliau.
Demikianlah dakwah menjadi gambaran cinta seorang manusia kepada sesamanya dan bahkan bukti cintanya kepada Rasulullah lebih daripada cintanya kepada dirinya sendiri. Ditinggalkannya segala rasa lelah yang menggayuti tubuhnya demi dakwah yang dulu dirintis oleh orang yang dicintainya, Rasulullah SAW. Ditempuhnya berbagai rintangan untuk menyampaikan indahnya Islam kepada saudara-saudaranya. Dia lakukan yang demikian itu agar keindahan yang dia rasakan dan nikmati juga bisa dirasakan oleh saudaranya yang lain.
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana orang-orang menjandi lebih rajin beribadah kepada Allah SWT. Majelis ilmu bermunculan dimana-mana bak jamur di musim hujan. Orang yang biasanya tidak pernah pergi ke masjid menjadi rajin mendatangi masjid di bulan ibadah ini. Televisi yang biasanya menampilkan tontonan tidak Islami tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Pendek kata segala peluang kebaikan bertebaran dalam kehidupan kita di Indonesia. Inilah sebenarnya momen dakwah yang paling tepat untuk mengembalikan manusia kembali kepada ajaran agamanya.
Momentum seperti ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan tadayun (keberagamaan) masyarakat dan meningkatkan syiar Islam ditengah masyarakat. Bulan Ramadhan kali ini bertepatan jatuhnya dengan bulan Agustus sebagai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan jika tidak ada halangan, peringatan turunnya Al-Qur’an yang dipercaya setiap tanggal 17 Ramadhan akan bertepatan dengan peringatan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus.
“Demam” Ramadhan ini sangat tepat jika dimanfaatkan untuk meningkatkan syiar Islam. Jika selama ini peringatan hari kemerdekaan seringkali dimeriahkan dengan lomba-lomba kocak yang terkadang mendatangkan mudharat maka mengapa tidak kita berikan alternatif dengan lomba-lomba yang lebih bermanfaat dan bernafaskan Islam. Alangkah eloknya jika lomba panjat pinang yang penuh resiko, lomba makan kerupuk yang tidak sesuai sunnah karena makan berdiri dan lomba-lomba lainnya lagi kita ganti dengan lomba adzan untuk anak, lomba hafalan Al-Qur’an, lomba cerdas cermat dan lomba lainnya yang lebih bermanfaat.
Jika kemudian pada tahun-tahun mendatang peringatan kemerdekaan Indonesia lebih diwarnai dengan kegiatan yang mendekatkan masyarakat kepada Islam maka sungguh merupakan sebuah investasi amal akhirat yang luar biasa. Luar biasa karena menghindarkan masyarakat dari kegiatan yang belum tentu bermanfaat dan menggantinya dengan kegiatan yang mendekatkan masyarakat kepada Islam.
Dakwah adalah sebuah pekerjaan yang harus dilakukan oleh semua orang tanpa kecuali sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW, “Barangsiapa diantara kalian melihat sebuah kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya. Jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim No 70).
Kesalahan pemahaman yang ada di masyarakat sekarang adalah memandang bahwa dakwah itu hanya untuk kalangan tertentu saja dari kalangan umat ini. Dakwah dipandang hanya merupakan porsi para ulama, kiyai, ustadz, ajengan dan sebagian elitis agama semata. Justru sebenarnya dakwah adalah porsi semua orang yang mengaku beriman. Sesungguhnya orang yang menjadi pendengar sebuah pengajian juga merupakan seorang pendakwah. Mengapa demikian? Karena jika tidak ada yang mendengarkan seorang ulama berceramah maka tidak akan mungkin ada majelis ta’lim. Justru adanya majelis ta’lim itu bukan hanya karena ada ulama yang memiliki ilmu mumpuni saja tapi juga kehadiran para jamaahnya. Bisakah kita membayangkan seorang ulama terkenal berceramah disebuah masjid dengan menggunakan pengeras suara bahkan disiarkan langsung di televisi tapi tidak ada satupun jamaah yang mendengarkannya di masjid itu. Jadi kehadiran seorang jamaah dalam sebuah majelis ta’lim juga merupakan bagian dari kontribusinya kepada dakwah Islam.
Akhirnya mereka yang tidak berdakwah gagal memanifestasikan cintanya kepada saudaranya dengan cara membagi nikmatnya berIslam kepada saudaranya. Sebaliknya sangat beruntung orang yang melakukan dakwah karena bukan hanya dia akan mendapatkan kebaikan dari orang yang melakukan perbuatan yang dia dakwahkan tapi juga sekaligus merealisasikan bukti cintanya kepada sesama manusia dan khususnya cintanya kepada Rasulullah SAW. Wallahu ‘alam
0 komentar:
Posting Komentar