Kemal Azis Stamboel
Anggota Komisi XI DPR RI dan Mantan Presiden Direktur PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan data kemiskinan terbaru pada 1 Juli lalu. Menurut data BPS, Per Maret 2011 jumlah penduduk miskin adalah sebesar 30,02 juta orang atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia. Jika dibandingkan data Maret 2010, di mana penduduk miskin adalah 31,02 juta orang atau 13,33% maka terjadi penurunan 1 juta orang dalam setahun terakhir.
Tentu ini adalah pencapaian yang patut dihargai, tetapi kita harus memberi catatan serius karena penurunan jumlah penduduk miskin 2011 melambat jika dibandingkan dengan pencapaian tahun sebelumnya yang berhasil mengentaskan hingga 1,5 juta orang. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2010 meningkat drastis menjadi 6,1% dari tahun 2009 yang hanya 4,6%.
Selain itu, jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan 30,02 juta adalah jumlah yang masih sangat besar. Belum kalau ditambahkan dengan penduduk yang sedikit diatas garis kemiskinan atau near poor. Tahun sebelumnya near poor mencapai 29,38 juta. Near poor berdasarkan ukuran BPS, sebagaimana disampaikan dalam Raker dengan Komisi XI beberapa waktu lalu adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan.
Maka jika rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2011 adalah Rp 233.740 pengeluaran per kapita perbulan atau Rp7.791 per kapita per hari (BPS, 2011), maka untuk near poor adalah penduduk yang pengeluaran per kapita perbulannya dibawah Rp280.488 atau Rp9.350 per kapita per hari. Dengan demikian penduduk yang pengeluaranya dibawah Rp10.000 per hari masih sekitar 60 juta. Kelompok ini sangat rentan untuk menjadi miskin dan tentunya masih jauh dari sejahtera. Dengan melihat masih besarnya jumlah penduduk miskin dan terjadinya pelambatan penurunan kemiskinan maka dibutuhkan kebijakan pembangunan yang lebih progresif.
Pembangunan di Hulu
Kebijakan pembangunan yang lebih progresif perlu diarahkan terutama untuk menyelesaikan masalah di hulu yang menjadi penyebab kemiskinan. Kalau dicermati, kemiskinan di Indonesia berakar dari kemiskinan perdesaan dan pertanian. Berdasarkan data BPS, sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan, mencapai 63,20%. Selain itu 57,78% penduduk miskin juga bekerja disektor pertanian. Kemiskinan di kota terutama juga akibat urbanisasi penduduk miskin dari desa. Dimana saat ini setiap dua hari diperkirakan lebih dari satu penduduk desa bermigrasi ke kota mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Maka hulu penyelesaiannya adalah diperlukan kebijakan pembangunan perdesaan dan pertanian yang lebih progresif.
Hal ini juga dikuatkan oleh hasil studi empiris Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa elastisitas pertumbuhan pada sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan di sektor industri pengolahan apalagi sektor jasa (Tarsidin, dkk., 2009). Studi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan 1% pada sektor pertanian akan menurunkan tingkat kemiskinan nasional sebesar 2,76% dan menurunkan tingkat kemiskinan di sektor pertanian sebesar 7,34%. Untuk itu, setidaknya diperlukan tiga kebijakan untuk mengakselerasi pembangunan perdesaan dan pertanian.
Kebijakan penting pertama adalah meningkatkan penguasaan tanah petani atau kelompok petani di perdesaan dengan membagikan tanah yang dikuasai Negara atau land reform. Berdasarkan data terdapat 68.000 desa administratif dengan 75% penduduk yang mendiaminya merupakan buruh tani atau petani gurem dengan lahan pertanian kurang dari 0,4 hektar. Kawasan perdesaan merupakan 80% dari keseluruhan wilayah Indonesia. Namun ironisnya, hampir semua sumber-sumber kesejahteraan, khususnya berupa kepemilikan tanah belum memihak kepentingan penduduk desa (Nurdin, 2011).
Dari 180 juta hektar kawasan lahan di Indonesia, 136,5 juta ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dan ini berarti hanya ada 43,5 juta hektar yang menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Luas lahan pertanian tahun 2010 hanya sekitar 19,81 juta hektar. Seharusnya dari sebagian kawasan lahan tersebut bisa dibagikan kepada petani atau kelompok tani yang miskin. Kalau pemerintah bisa memberikan izin 41 juta hektar tanah hutan kepada 600 perusahaan dan 9,4 juta hektar kepada 600 perusahaan perkebunan sawit, mengapa untuk rakyat tidak. Peningkatan penguasaan lahan ini mutlak dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan.
Kebijakan strategis kedua adalah pembangunan infrastruktur pertanian dan perdesaan secara masif. Berdasarkan data hingga akhir 2009, total luas sawah yang sudah mendapat saluran irigasi hanya mencapai 7,2 juta hektar. Padahal data BPS menunjukkan luas sawah padi pada 2010 adalah 12,87 juta hektar dan luas lahan pertanian seluruhnya sekitar 19,81 juta hektar. Dengan demikian baru 36,3% lahan yang teririgasi. Ini adalah kesenjangan yang sangat luar biasa, dan kalau tidak terairi maka produktifitasnya juga rendah.
Tahun 2011, pemerintah hanya menyediakan anggaran pembangunan saluran irigasi dan perluasan irigasi lama, dan rehabilitasi jaringan irigasi yang rusak senilai Rp3,8 triliun. Anggaran yang sangat kecil dan tidak ada 1% dari APBN 2011 ini tentu tidak memadai untuk menopang petani yang jumlahnya banyak dengan area pertanian yang sangat luas. Kedepan anggaran infrastruktur pertanian harus ditingkatkan secara progresif untuk pembangunan waduk-waduk, embung, dam-dam dan irigasi. Diharapakan dengan kebijakan tersebut tingkat produktifitas pertanian dan petani akan meningkat serta panen bisa lebih baik.
Kebijakan ketiga adalah pengembangan badan usaha bersama desa atau badan usaha kelompok tani sebagai basis pengembangan industri pertanian (agro industry). Badan usaha bersama tersebut bisa mengelola tanah pertanian yang dibagikan pemerintah dan peternakan secara integratif, kemudian mengembangkan industri pupuk organik, industri pengolahan hasil pertanian, lembaga pembiayaan, pemasaran dan juga pengembangan teknologi pertanian. Hilirisasi dan industri pertanian modern harus menjadi sasaran penting, sehingga petani tidak hanya menjual atau mengekspor komoditi mentah dengan nilai rendah. Kebijakan ini diharapkan akan menggerakkan aktivitas ekonomi perdesaan sehingga akan mengurangi kemiskinan di desa dan juga akan mengurangi migrasi dan kemiskinan di kota, serta mereduksi masalah buruh migran atau TKI.
Mengenai sumber pendanaan untuk pembangunan pertanian dan perdesaan tersebut agar bisa meningkat drastis, pemerintah harus secara progresif berani melakukan pengaturan dan mengalihkan subsidi energi yang tidak tepat sasaran yang mencapai lebih Rp95,9 triliun dan masih berpotensi membengkak. Kalau bisa dilakukan penghematan separuhnya saja melalui pengaturan BBM bersubsidi maka akan tersedia Rp45 triliun yang dapat dialihkan. Tentu dengan dana yang cukup besar tersebut akan banyak pembangunan dan pengembangan ekonomi di desa dan sektor pertanian yang bisa di lakukan. Sehingga kemiskinan akan bisa dikurangi secara drastis.
0 komentar:
Posting Komentar