JAKARTA—Fraksi PKS DPR RI menolak usulan kenaikan harga rumah
bersubsidi yang diusulkan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Usulan
kenaikan harga rumah bersubsidi yang mencapai 45% dinilai tidak relevan
mengingat sampai saat ini belum ada keputusan menaikan kenaikan harga BBM.
Anggota
Fraksi PKS DPR RI yang juga anggota Komisi V Yudi Widiana Adia mengungkapkan
hal tersebut, Kamis (15-3) terkait dengan usulan Kemenpera menaikan harga rumah
subsidi baik tapak maupun rusun sebesar 45%.
“Terlalu
dini untuk mengusulkan kenaikan harga rumah bersubsidi karena sampai saat ini
kenaikan harga BBM juga belum disetujui dan masih dibahas di DPR. Tapi mengapa pemerintah
sudah mematok kenaikan harga rumah bersubsidi sampai 45%? FPKS jelas menolak
usulan kenaikan ini mengingat sampai saat ini belum ada keputusan mengenai
kenaikan harga BBM,” kata Yudi yang juga anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR
RI.
Seperti
diberitakan sebelumnya, Kemenpera telah mengajukan usulan kenaikan harga rumah
bersubsidi sebesar 45% kepada Kementerian Keuangan. Pemerintah beralasan, kenaikan
harga rumah tersebut mengacu pada tingkat inflasi dari tahun 2007—2012 dan
estimasi kenaikan BBM.
Kemenpera
mematok harga maksimum rumah sejahtera susun bersubsidi diusulkan naik dari
Rp144 juta menjadi Rp190 juta. Harga tersebut belum termasuk kenaikan harga BBM
yang diperkirakan mendorong kenaikan harga rumah sebesar 10% sehingga total
kenaikan harga rumah bersubsidi menjadi 45% sehingga harga rusun sejahtera menjadi
Rp209 juta/unit.
Adapun
harga patokan maksimum rumah sejahtera tapak bersubsidi diusulkan naik dari
Rp70 juta menjadi Rp80 juta. Dan jika dihitung dengan dampak kenaikan BBM,
harga rumah tapak menjadi Rp88 juta atau total kenaikannya sebesar 25,7%.
Baglock
Makin Tingggi
Kenaikan
harga rumah bersubsidi yang mencapai 45% tersebut, kata Yudi, akan meningkatkan
baglock perumahan dan tidak tercapainya target pemerintah dalam pemenuhan hak
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memperoleh rumah yang layak
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
“UUD mengamanatkan kepada
pemerintah untuk menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat. Dan hal itu
diperkuat dengan pasal 54 UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (PKP) yang menegaskan bahwa Pemerintah
wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Dengan kenaikan harga rumah subsidi,
otomatis harga rusun subsidi sama dengan harga rusun komersial dan kian tidak
terjangkau masyarakat MBR. Dengan demikian, baglock akan perumahan makin besar
karena MBR tidak mampu membeli rumah dengan harga setinggi itu,” kata Yudi.
Untuk
itu, Yudi meminta pemerintah tidak menaikan harga rumah bersubsidi. Yang
seharusnya dilakukan pemerintah adalah menambah subsidi dan mempermudah proses
subsidi rumah bagi MBR.
Selama
ini, subsidi perumahan bagi MBR dilakukan melalui program pemberian Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Namun, dalam pelaksanaannya, FLPP juga
tidak menunjukan hasil yang menggembirakan dalam mengurangi baglock perumahan.
Tahun 2010, program
FLPP baru terserap untuk 20 ribu lebih unit rumah senilai sekitar Rp 500 miliar
dari anggaran yang disiapkan mencapai Rp 2,6 triliun.
Tahun
2011, Kemenpera mengklaim setidaknya telah menyalurkan FLPP untuk sekitar
99.699 unit KPR Sejahtera. Jumlah tersebut terbagi atas 99.574 unit rumah
sejahtera tapak dan 125 unit rumah sejahtera susun.
Tahun
2012, Kemenpera juga menargetkan penyaluran bantuan pembiayaan perumahan
melalui kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk
sekitar 123.790 unit rumah. Untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, Kemenpera
telah mengalokasikan dana sekitar Rp 4,7 Triliun. Dana FLPP tersebut nantinya
akan disalurkan untuk pembiayaan perumahan 122.790 unit rumah sejahtera tapak
dan 1.000 unit rumah sejahtera susun.
Secara
keseluruhan, alokasi dana FLPP selama tiga tahun terkahir (2010—2012) mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Alokasi dana tersebut meningkat hampir lima
kali lipat atau mencapai sebesar 13,69 triliun rupiah. Jika ditambah dana
subsidi (yang kemudian berubah menjadi dana likuiditas pembiayaan perumahan)
maka besarnya menjadi 21,62 triliun rupiah.
Sayangnya,
penambahan anggaran itu seperti tak berbekas. Perlu pembuktian konkret apakah
peningkatan alokasi dana RPJMN dapat berperan lebih efektif mengatasi angka
kumulatif kekurangan perumahan. Sebab, faktanya, setiap tahunnya justru jumlah
backlog bertambah lebih besar ketimbang realisasi pengadaan pembangunan
perumahan.
0 komentar:
Posting Komentar