Idul Fitri sebagai suatu wujud kemenangan setelah
menunaikan puasa di bulan Ramadan. Menahan lapar dan haus selama
satu bulan berpuasa, merupakan suatu amal yang tidak mudah
dilakukan jika tidak disertai dengan niat yang kuat karena Allah
semata.
Jadi, ketika puasa disertai niat yang kuat karena Allah semata maka puasa ini akan menjadi sarana terbentuknya kepribadian berakhlakulkarimah dimana seluruh pikiran, ucapan dan tindakannya dilakukan secara rasional dan menggunakan mata hati. Segala tindakannya sangat terstruktur, terukur, dan dapat dievaluasi.
Puasa yang telah kita laksanakan sebulan penuh sangat erat kaitannya dengan pembangunan peradaban dunia. Karena pada hakikatnya kalau kita ingin membangun peradaban dunia menjadi lebih baik, maka dimulai dari pembangunan individu. Dilanjutkan dengan pembinaan keluarga, masyarakat sampai pada tingkatan negara dan dunia Islam.
Pembinaan atau tarbiyah setiap individu memiliki peranan penting sebagai embrio terbentuknya kepribadian mulia. Oleh karena itu momentum Ramadan yang baru saja kita lewati ini, merupakan sarana untuk membentuk kepribadian mulia yang sempurna dan paripurna yang berbasis iman dan keilmuan.
Setelah sebulan kita dibina oleh Ramadan, maka memasuki Idul Fitri seperti terlahir kembali dalam keadaan suci. Kesucian diri di hari Idul Fitri ini merupakan modal sosial untuk pembangunan umat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, di dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka umat perlu menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut dalam rangka nilai-nilai dan norma hidup dan kehidupan sebagai manusia di tengah-tengah alam semesta.
Pepatah Minang mengatakan: Alam takambang jadi guru. Alam sebagai dunia nyata senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu, manusia perlu mengambil pelajaran dari setiap perubahan agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagaimana pernah dikatakan Buya Hamka, “tidak ada yang tetap di dunia ini, yang ada adalah perubahan, perubahan itulah yang tetap didunia ini.”
Namun, setiap perubahan hanya dapat dimengerti dan direspons oleh individu yang memiliki kemampuan untuk membaca dan menganalisa tanda-tanda perubahan, dialah orang shaleh yang ulilalbab sebagaimana ayat dalam Alquran.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulilalbab (orang yang berakal)” (Ali ’Imran 3: 190).
Pembinaan Keluarga
Pembinaan pada tahapan berikutnya adalah pembinaan keluarga. Perlu kita sadari bahwa keluarga dalam Islam adalah keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Tujuannya hanya mencari keridhaan Allah SWT. Setiap anggota keluarga Islam ini menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan peraturanNya. Hal ini bisa dimulai dari sejak awal saat menentukan kriteria pasangan hidup, proses memilih, khitbah (meminang), pernikahan, serta proses menjalani kehidupan rumahtangga.
Pembinaan keluarga dalam Islam telah memberikan pemahaman yang benar bagi setiap unsur keluarga bapak, ibu dan sehingga terwujud keluarga yang “mawadah warahmah” (Ar-Rum 30: 21). Jika setiap keluarga memilki tanggungjawab yang kuat untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah yang dipandang sebagai wujud kewajiban dan kepedulian sosisal-nya maka langkah ini merupakan embrio terbentuknya masyarakat Islami yang terbina, teratur dan tertata yang dipandang sebagai bagian perbuatan kebaikan, Allah menyukai orang yang berbuat baik sebagaimana firman-Nya.
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (Al-Baqarah 2: 148)
Tahapan ketiga, adalah pembinaan masyarakat. Masyarakat merupakan himpunan dari individu-individu dengan segala keragaman latarbelakang suku, ras dan agama yang berada dalam suatu kawasan didalamnya terjadi interaksi, budaya dan kendak bersama untuk saling menghormati dan tolong menolong dalam upaya meraih tujuan bersama. Gejala umum yang sering terjadi adalah benturan antar individu dan antar kelompok lantaran adanya kepentingan yang didesakan dan tidak terakomodir sehingga menjadi pemicu konflik sosial.
Bila bentuk masyarakat yang dibentuk atas dasar diskriminatif tersebut maka sudah barang tentu banyak terjadi penyakit-penyakit sosial dan masyarakat yang muncul baik moral dan etika maupun tata aturan lantaran tidak saling menghormati dan menghargai.
Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang basis individunya tidak dibentuk secara kepribadian Islam melainkan dibentuk berdasarkan kepentingan materialistis tanpa ruh sebagai pengikat dan penggerak, keadaan masyarakat semacam ini sungguh sangat rapuh dan bisa dipastikan selalu akan mucul vandalisme, hedonisme dan permisifisme.
Pembinaan Sosial
Islam mengajarkan pemahaman yang benar tentang pembinaan sosial kemasayarakat dengan berawal dari setiap individu dan keluaraga melakukan perbuatan kebajikan sebagaimana firman Allah “dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (Al-Qashash 28: 77). Inilah epicentrum memperbaiki hubungan sosial kemasyarakatan yang mestinya wujud dalam dunia nyata.
Dimana, masing-masing memiliki tanggung jawab sosial untuk perbuatan kebajikan sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama dalam menciptakan perdamaian masyarakat menjadi bagian utuh setiap komponen masyarakat sehingga masayarakat merasakan saling tolong menolong dan gotongroyong dengan mengedapankan prinsip musyawarah dan toleransi.
Pembinaan pada tahap keempat adalah pembinaan negara. Imam Al-Ghazali pernah mengatkan “ketahuilah bahwa syari’at itu pondasi, dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan hilang”.
Demikian pula Syech Hasan Al-Banna mengatakan “Daulah islamiyah tidak akan tegak kecuali bertumpu di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur, dan bukan pula pemerintahan materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh didalam-nya. Demikian pula dakwah tidak mungkin tegak kecuali ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, menyebarkan, dan mengokohkannya”.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan konstitusi negara yang memuat norma-norma dasar yang komprehensive guna mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang muatannya bersumber dari pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan atau disebut Panitia Kecil dari BPUPKI. Tiga diantara mereka adalah Mohammad Hatta, H. Agus Salim dan Muhmmad Yamin yang berasal dari Minang, yang prinsip dasarnya mengarahkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, kuat dan cerdas kemudian ikut serta dalam perdamaian dunia yang sesungguhnya berkesesuaian dengan ajaran Islam.
Namun dalam prakteknya kerap kali kita jumpai hubungan antarlembaga-lembaga negara sering tidak terkosolidasi dengan baik sehingga prinsip untuk mencerdasakan bangsa menjadi terabaikan semisal dalam bidang pendidikan masih muncul problem kelompok masyarakat miskin yang tidak terjangkau pendidikan walaupun kebijakan anggaran pendidikan dua puluh persen dalam APBN.
Seorang filusuf Perancis Roger Garaudy dalam Promesses de L’Islam mengatakan “Islam tidak mengenal pemisahan problem agama dan problem negara, selanjutnya memelihara kesatuan antara transedensi dan masyarakat serta antara kesatuan dan manifestasinya”, sebagaimana dalam Alquran Allah berfirman: “wahai orang-orang beriman! masuklah kamu kedalam islam secara kaffah”.(Al-Baqarah 2:208). Sayangnya pemandangan keseharian selalu saja terjadi praktek-praktek yang tidak mencerminkan perilaku mulia.
Islam Tak Kenal Sekularisme
Keterpisahan agama dan negara, mengakibatkan negara menjadi lemah dan tidak memiliki kekuatan. Kerapkali negara sangat lemah berhadapan dengan korporat-korporat hitam yang senantiasa mengandalkan modal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan pengadilan. Juga negara tak berdaya berhadapan dengan praktek politik oligarki yang menghadirkan kelompok yang teramat kuat disatu sisi dan kelompok yang teramat lemah disisi lain karena negara hanya di dominasi oleh kelompok oligarki penguasa dan pengusaha tanpa mengakomodir kepentingan kelompok lemah.
Dunia yang kita hadapi sedang karut marut dimana peran dobel standar sering menimbulkan kebingunan dan menyisakan kepediahan dan penderitaan karena seringkali dunia barat tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip perdamaian abadi karena keberpihakannya pada negara kolega. Mereka membentuk hegemoni dengan menimbulkan penjajahan dan ketergantungan karena kekuasaan sumber ekonomi dan politik dunia terkonsentrasi pada seorang, kelompok atau negara tertentu saja sementara negara lain dijadikan sebagai negara terjajah, tertindas dan terdiskriminasi, cara-cara hegemoni ini sangat terlarang dalam Islam.
Apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat dan PBB terhadap penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar? Sungguh memalukan dan sangat terlambat. Konon Barat dan PBB yang mengusung dan peduli terhadap hak azasi manusia (HAM) kali ini tidak tajam suara dan upayanya untuk mengatasi masalah ini. Tak pantas umat Islam menyerahkan persoalan kemanusiaan ini kepada negara dan lembaga dunia yang nyata-nyata memusuhi umat Islam sebagai mana Alquran mengatakan “kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat” (Al-baqarah 2:177).
Jumhur ulama sepakat bahwa ayat ini termasuk meminta bantuan pada dunia barat dan timur untuk menyelesaikan konflik-konflik yang berskala internasional yang dalam kasusnya dimana umat Islam yang menjadi objek penindasan dan penjajahan karena mereka memiliki misi yang tidak berkesesuian dengan misi atau risalah Islam yang lebih mencari jalan perdamaian abadi dari pada mencari teman untuk konspirasi dalam upaya mengeruk keuntungan baik politik dunia maupun penguasaan sumber-sumber ekonomi yang menjadi hegemoni-nya.
Umat Islam dan dunia Islam mesti sadar bahwa hanya dengan Islam dunia dapat dibangun dengan tata dunia baru yang berbasiskan pada toleransi dan perdamaian abadi. Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai Allah kepekaan untuk mengamalkan aneka benih peluang kebaikan yang diperlihatkan Allah kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya untuk perdamaian umat manusia.
H HERMANTO, SE MM
(Anggota DPR RI Komisi IV)
Haluan 25 Agustus 2012
Jadi, ketika puasa disertai niat yang kuat karena Allah semata maka puasa ini akan menjadi sarana terbentuknya kepribadian berakhlakulkarimah dimana seluruh pikiran, ucapan dan tindakannya dilakukan secara rasional dan menggunakan mata hati. Segala tindakannya sangat terstruktur, terukur, dan dapat dievaluasi.
Puasa yang telah kita laksanakan sebulan penuh sangat erat kaitannya dengan pembangunan peradaban dunia. Karena pada hakikatnya kalau kita ingin membangun peradaban dunia menjadi lebih baik, maka dimulai dari pembangunan individu. Dilanjutkan dengan pembinaan keluarga, masyarakat sampai pada tingkatan negara dan dunia Islam.
Pembinaan atau tarbiyah setiap individu memiliki peranan penting sebagai embrio terbentuknya kepribadian mulia. Oleh karena itu momentum Ramadan yang baru saja kita lewati ini, merupakan sarana untuk membentuk kepribadian mulia yang sempurna dan paripurna yang berbasis iman dan keilmuan.
Setelah sebulan kita dibina oleh Ramadan, maka memasuki Idul Fitri seperti terlahir kembali dalam keadaan suci. Kesucian diri di hari Idul Fitri ini merupakan modal sosial untuk pembangunan umat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, di dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka umat perlu menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut dalam rangka nilai-nilai dan norma hidup dan kehidupan sebagai manusia di tengah-tengah alam semesta.
Pepatah Minang mengatakan: Alam takambang jadi guru. Alam sebagai dunia nyata senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu, manusia perlu mengambil pelajaran dari setiap perubahan agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagaimana pernah dikatakan Buya Hamka, “tidak ada yang tetap di dunia ini, yang ada adalah perubahan, perubahan itulah yang tetap didunia ini.”
Namun, setiap perubahan hanya dapat dimengerti dan direspons oleh individu yang memiliki kemampuan untuk membaca dan menganalisa tanda-tanda perubahan, dialah orang shaleh yang ulilalbab sebagaimana ayat dalam Alquran.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi ulilalbab (orang yang berakal)” (Ali ’Imran 3: 190).
Pembinaan Keluarga
Pembinaan pada tahapan berikutnya adalah pembinaan keluarga. Perlu kita sadari bahwa keluarga dalam Islam adalah keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Tujuannya hanya mencari keridhaan Allah SWT. Setiap anggota keluarga Islam ini menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan peraturanNya. Hal ini bisa dimulai dari sejak awal saat menentukan kriteria pasangan hidup, proses memilih, khitbah (meminang), pernikahan, serta proses menjalani kehidupan rumahtangga.
Pembinaan keluarga dalam Islam telah memberikan pemahaman yang benar bagi setiap unsur keluarga bapak, ibu dan sehingga terwujud keluarga yang “mawadah warahmah” (Ar-Rum 30: 21). Jika setiap keluarga memilki tanggungjawab yang kuat untuk mewujudkan keluarga sakinah mawadah warahmah yang dipandang sebagai wujud kewajiban dan kepedulian sosisal-nya maka langkah ini merupakan embrio terbentuknya masyarakat Islami yang terbina, teratur dan tertata yang dipandang sebagai bagian perbuatan kebaikan, Allah menyukai orang yang berbuat baik sebagaimana firman-Nya.
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (Al-Baqarah 2: 148)
Tahapan ketiga, adalah pembinaan masyarakat. Masyarakat merupakan himpunan dari individu-individu dengan segala keragaman latarbelakang suku, ras dan agama yang berada dalam suatu kawasan didalamnya terjadi interaksi, budaya dan kendak bersama untuk saling menghormati dan tolong menolong dalam upaya meraih tujuan bersama. Gejala umum yang sering terjadi adalah benturan antar individu dan antar kelompok lantaran adanya kepentingan yang didesakan dan tidak terakomodir sehingga menjadi pemicu konflik sosial.
Bila bentuk masyarakat yang dibentuk atas dasar diskriminatif tersebut maka sudah barang tentu banyak terjadi penyakit-penyakit sosial dan masyarakat yang muncul baik moral dan etika maupun tata aturan lantaran tidak saling menghormati dan menghargai.
Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang basis individunya tidak dibentuk secara kepribadian Islam melainkan dibentuk berdasarkan kepentingan materialistis tanpa ruh sebagai pengikat dan penggerak, keadaan masyarakat semacam ini sungguh sangat rapuh dan bisa dipastikan selalu akan mucul vandalisme, hedonisme dan permisifisme.
Pembinaan Sosial
Islam mengajarkan pemahaman yang benar tentang pembinaan sosial kemasayarakat dengan berawal dari setiap individu dan keluaraga melakukan perbuatan kebajikan sebagaimana firman Allah “dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (Al-Qashash 28: 77). Inilah epicentrum memperbaiki hubungan sosial kemasyarakatan yang mestinya wujud dalam dunia nyata.
Dimana, masing-masing memiliki tanggung jawab sosial untuk perbuatan kebajikan sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama dalam menciptakan perdamaian masyarakat menjadi bagian utuh setiap komponen masyarakat sehingga masayarakat merasakan saling tolong menolong dan gotongroyong dengan mengedapankan prinsip musyawarah dan toleransi.
Pembinaan pada tahap keempat adalah pembinaan negara. Imam Al-Ghazali pernah mengatkan “ketahuilah bahwa syari’at itu pondasi, dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan hilang”.
Demikian pula Syech Hasan Al-Banna mengatakan “Daulah islamiyah tidak akan tegak kecuali bertumpu di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur, dan bukan pula pemerintahan materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh didalam-nya. Demikian pula dakwah tidak mungkin tegak kecuali ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, menyebarkan, dan mengokohkannya”.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan konstitusi negara yang memuat norma-norma dasar yang komprehensive guna mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang muatannya bersumber dari pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan atau disebut Panitia Kecil dari BPUPKI. Tiga diantara mereka adalah Mohammad Hatta, H. Agus Salim dan Muhmmad Yamin yang berasal dari Minang, yang prinsip dasarnya mengarahkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, kuat dan cerdas kemudian ikut serta dalam perdamaian dunia yang sesungguhnya berkesesuaian dengan ajaran Islam.
Namun dalam prakteknya kerap kali kita jumpai hubungan antarlembaga-lembaga negara sering tidak terkosolidasi dengan baik sehingga prinsip untuk mencerdasakan bangsa menjadi terabaikan semisal dalam bidang pendidikan masih muncul problem kelompok masyarakat miskin yang tidak terjangkau pendidikan walaupun kebijakan anggaran pendidikan dua puluh persen dalam APBN.
Seorang filusuf Perancis Roger Garaudy dalam Promesses de L’Islam mengatakan “Islam tidak mengenal pemisahan problem agama dan problem negara, selanjutnya memelihara kesatuan antara transedensi dan masyarakat serta antara kesatuan dan manifestasinya”, sebagaimana dalam Alquran Allah berfirman: “wahai orang-orang beriman! masuklah kamu kedalam islam secara kaffah”.(Al-Baqarah 2:208). Sayangnya pemandangan keseharian selalu saja terjadi praktek-praktek yang tidak mencerminkan perilaku mulia.
Islam Tak Kenal Sekularisme
Keterpisahan agama dan negara, mengakibatkan negara menjadi lemah dan tidak memiliki kekuatan. Kerapkali negara sangat lemah berhadapan dengan korporat-korporat hitam yang senantiasa mengandalkan modal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan pengadilan. Juga negara tak berdaya berhadapan dengan praktek politik oligarki yang menghadirkan kelompok yang teramat kuat disatu sisi dan kelompok yang teramat lemah disisi lain karena negara hanya di dominasi oleh kelompok oligarki penguasa dan pengusaha tanpa mengakomodir kepentingan kelompok lemah.
Dunia yang kita hadapi sedang karut marut dimana peran dobel standar sering menimbulkan kebingunan dan menyisakan kepediahan dan penderitaan karena seringkali dunia barat tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip perdamaian abadi karena keberpihakannya pada negara kolega. Mereka membentuk hegemoni dengan menimbulkan penjajahan dan ketergantungan karena kekuasaan sumber ekonomi dan politik dunia terkonsentrasi pada seorang, kelompok atau negara tertentu saja sementara negara lain dijadikan sebagai negara terjajah, tertindas dan terdiskriminasi, cara-cara hegemoni ini sangat terlarang dalam Islam.
Apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat dan PBB terhadap penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar? Sungguh memalukan dan sangat terlambat. Konon Barat dan PBB yang mengusung dan peduli terhadap hak azasi manusia (HAM) kali ini tidak tajam suara dan upayanya untuk mengatasi masalah ini. Tak pantas umat Islam menyerahkan persoalan kemanusiaan ini kepada negara dan lembaga dunia yang nyata-nyata memusuhi umat Islam sebagai mana Alquran mengatakan “kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat” (Al-baqarah 2:177).
Jumhur ulama sepakat bahwa ayat ini termasuk meminta bantuan pada dunia barat dan timur untuk menyelesaikan konflik-konflik yang berskala internasional yang dalam kasusnya dimana umat Islam yang menjadi objek penindasan dan penjajahan karena mereka memiliki misi yang tidak berkesesuian dengan misi atau risalah Islam yang lebih mencari jalan perdamaian abadi dari pada mencari teman untuk konspirasi dalam upaya mengeruk keuntungan baik politik dunia maupun penguasaan sumber-sumber ekonomi yang menjadi hegemoni-nya.
Umat Islam dan dunia Islam mesti sadar bahwa hanya dengan Islam dunia dapat dibangun dengan tata dunia baru yang berbasiskan pada toleransi dan perdamaian abadi. Sungguh beruntung bagi siapapun yang dikaruniai Allah kepekaan untuk mengamalkan aneka benih peluang kebaikan yang diperlihatkan Allah kepadanya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah aneka potensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula kesanggupan memanfaatkannya untuk sebanyak-banyaknya untuk perdamaian umat manusia.
H HERMANTO, SE MM
(Anggota DPR RI Komisi IV)
Haluan 25 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar