Terima kasih kepada pengunjung blog. Jumlah kunjungan telah melewati 23.000. Nikmati postingan baru setiap Sabtu-Ahad
Home » » Membangun Dunia Mulai dari Individu

Membangun Dunia Mulai dari Individu

Written By Unknown on Sabtu, 25 Agustus 2012 | 15.02

Idul Fitri sebagai suatu wujud kemenangan setelah me­nunaikan puasa di bulan Ra­madan. Menahan lapar dan ha­­us selama satu bulan ber­pu­­­asa, merupakan  suatu amal ya­ng tidak mudah dilakukan ji­­ka tidak disertai dengan niat yang kuat karena Allah sema­ta.

Jadi, ketika puasa disertai niat yang kuat karena Allah semata maka puasa ini akan menjadi sarana terbentuknya kepribadian berakhlakul­kari­mah dimana seluruh pikiran, ucapan dan tindakannya dila­ku­kan secara rasional dan menggunakan mata hati. Sega­la tindakannya sangat ter­struk­tur, terukur, dan dapat dievaluasi.

Puasa yang telah kita laksanakan sebulan penuh sangat erat kaitannya dengan pembangunan peradaban dunia. Karena pada hakikatnya kalau kita ingin membangun pera­daban dunia menjadi lebih baik, maka dimulai dari pem­bangunan individu. Dilanjutkan dengan pembinaan keluarga, masyarakat sampai pada tingkatan negara dan dunia Islam.

Pembinaan atau tarbiyah setiap individu memiliki pera­nan penting sebagai embrio terbentuknya kepribadian mulia. Oleh karena itu momen­tum Ramadan yang baru saja kita lewati ini, merupakan sarana untuk membentuk kepribadian mulia yang sem­purna dan paripurna yang berbasis iman dan keilmuan.

Setelah sebulan kita dibina oleh Ramadan, maka mema­suki Idul Fitri seperti terlahir kembali dalam keadaan suci. Kesucian diri di hari Idul Fitri ini merupakan modal sosial untuk pembangunan umat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, di dalam menghadapi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka umat perlu menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut dalam rangka nilai-nilai dan norma hidup dan kehidupan sebagai manusia di tengah-tengah alam semesta.

Pepatah Minang menga­takan: Alam takambang jadi guru. Alam sebagai dunia nyata senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu, manusia perlu mengambil pelajaran dari setiap perubahan agar dapat menjaga kelangsungan hidup­nya. Sebagaimana pernah dikatakan Buya Hamka, “tidak ada yang tetap di dunia ini, yang ada adalah perubahan, perubahan itulah yang tetap didunia ini.”

Namun, setiap perubahan hanya dapat dimengerti dan direspons oleh individu yang memiliki kemampuan untuk membaca dan menganalisa tanda-tanda perubahan, dialah orang shaleh yang ulilalbab sebagaimana ayat dalam Al­qur­an.

“Sesungguhnya dalam pen­ciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebe­saran Allah) bagi ulilalbab (orang yang berakal)” (Ali ’Imran 3: 190).

Pembinaan Keluarga
Pembinaan pada tahapan berikutnya adalah pembinaan keluarga. Perlu kita sadari bahwa keluarga dalam Islam adalah keluarga yang dibangun atas dasar ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taala. Tujuannya hanya mencari keridhaan Allah SWT. Setiap anggota keluarga Islam ini menjalankan hak dan kewa­jiban masing-masing sesuai dengan peraturanNya. Hal ini bisa dimulai dari sejak awal saat menentukan kriteria pasangan hidup, proses memi­lih, khitbah (meminang), perni­kahan, serta proses menjalani kehidupan rumahtangga.

Pembinaan keluarga dalam Islam telah memberikan pema­haman yang benar bagi setiap unsur keluarga bapak, ibu dan sehingga terwujud keluarga yang “mawadah warahmah” (Ar-Rum 30: 21). Jika setiap keluarga memilki tanggung­jawab yang kuat untuk mewu­judkan keluarga sakinah ma­wa­dah warahmah yang dipan­dang sebagai wujud kewajiban dan kepedulian sosisal-nya maka langkah ini merupakan embrio terbentuknya masya­rakat Islami yang terbina, teratur dan tertata yang dipan­dang sebagai bagian perbu­atan kebaikan, Allah me­nyukai orang yang berbuat baik seba­gaimana firman-Nya.

“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (Al-Baqarah 2: 148)

Tahapan ketiga, adalah pembinaan masyarakat. Ma­syarakat merupakan himpunan dari individu-individu dengan segala keragaman latarbe­lakang suku, ras dan agama yang berada dalam suatu kawasan didalamnya terjadi interaksi, budaya dan kendak bersama untuk saling meng­hormati dan tolong menolong dalam upaya meraih tujuan bersama. Gejala umum yang sering terjadi adalah benturan antar individu dan antar kelompok lantaran adanya kepentingan yang didesakan dan tidak terakomodir sehingga menjadi pemicu konflik sosial.
Bila bentuk masyarakat yang dibentuk atas dasar diskriminatif tersebut maka sudah barang tentu banyak terjadi penyakit-penyakit sosial dan masyarakat yang muncul baik moral dan etika maupun tata aturan lantaran tidak saling menghormati dan meng­hargai.

Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang basis individunya tidak dibentuk secara kepribadian Islam melainkan dibentuk ber­da­sarkan kepentingan mate­rialistis tanpa ruh sebagai pengikat dan penggerak, kea­daan masyarakat semacam ini sungguh sangat rapuh dan bisa dipastikan selalu akan mucul vandalisme, hedonisme dan permisifisme.

Pembinaan Sosial
Islam mengajarkan pema­haman yang benar tentang pembinaan sosial kema­saya­rakat dengan berawal dari setiap individu dan keluaraga melakukan perbuatan keba­jikan sebagaimana firman Allah “dan berbuat baiklah (kepada orang lain) seba­gaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (Al-Qashash 28: 77). Inilah epicentrum memperbaiki hubungan sosial kemasyarakatan yang mes­tinya wujud dalam dunia nyata.
Dimana, masing-masing memiliki tanggung jawab sosial untuk perbuatan kebajikan sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama dalam men­ciptakan perdamaian masya­rakat menjadi bagian utuh setiap komponen masyarakat sehingga masayarakat mera­sakan saling tolong menolong dan gotongroyong dengan menge­dapankan prinsip musyawarah dan toleransi.

Pembinaan pada tahap keempat adalah pembinaan negara. Imam Al-Ghazali per­nah mengatkan “ketahuilah bahwa syari’at itu pondasi, dan raja itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan hilang”.

Demikian pula Syech Hasan Al-Banna mengatakan “Daulah islamiyah tidak akan tegak kecuali bertumpu di atas pondasi dakwah, sehingga ia menjadi negara risalah bukan hanya sekedar bagan struktur, dan bukan pula pemerintahan materialistis, yang jumud, pasif, tanpa ruh didalam-nya. Demikian pula dakwah tidak mungkin tegak kecuali ada jaminan perlindungan yang akan menjaga, menyebarkan, dan mengokohkannya”.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan konstitusi negara yang memuat norma-norma dasar yang kompre­hensive guna mengatur kehi­dupan berbangsa dan berne­gara yang muatannya ber­sumber dari pemikiran-pemi­kiran dan pandangan-pan­dangan tokoh-tokoh besar Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan atau disebut Panitia Kecil dari BPUPKI. Tiga dian­tara mereka adalah Moham­mad Hatta, H. Agus Salim dan Muhmmad Yamin yang berasal dari Minang, yang prinsip dasarnya menga­rahkan bangsa Indonesia men­jadi bangsa yang besar, kuat dan cerdas kemudian ikut serta dalam perdamaian dunia yang sesung­guhnya berkese­suaian dengan ajaran Islam.

Namun dalam prakteknya kerap kali kita jumpai hu­bungan antarlembaga-lembaga negara sering tidak terko­solidasi dengan baik sehingga prinsip untuk mencerdasakan bangsa menjadi terabaikan semisal dalam bidang pen­didikan masih muncul problem kelompok masyarakat miskin yang tidak terjangkau pendi­dikan walaupun kebijakan anggaran pendidikan dua puluh persen dalam APBN.

Seorang filusuf Perancis Roger Garaudy dalam Pro­messes de L’Islam mengatakan “Islam tidak mengenal pemi­sahan problem agama dan problem negara, selanjutnya memelihara kesatuan antara transedensi dan masyarakat serta antara kesatuan dan manifestasinya”, sebagaimana dalam Alquran Allah ber­firman:  “wahai orang-orang beriman! masuklah kamu kedalam islam secara kaf­fah”.(Al-Baqarah 2:208).  Sa­yang­nya pemandangan kese­harian selalu saja terjadi praktek-praktek yang tidak mencerminkan perilaku mulia.

Islam Tak Kenal Sekularisme
Keterpisahan agama dan negara, mengakibatkan negara menjadi lemah dan tidak memiliki kekuatan. Kerapkali negara sangat lemah berha­dapan dengan korporat-kor­porat hitam yang senantiasa mengandalkan modal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan penga­dilan. Juga negara tak berdaya berhadapan dengan praktek politik oligarki yang meng­hadirkan kelompok yang ter­amat kuat disatu sisi dan kelompok yang teramat lemah disisi lain karena negara hanya di dominasi oleh kelompok oligarki penguasa dan pengu­saha tanpa mengakomodir kepentingan kelompok lemah.

Dunia yang kita hadapi sedang karut marut dimana peran dobel standar sering menimbulkan kebingunan dan menyisakan kepediahan dan penderitaan karena seringkali dunia barat tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip perdamaian abadi karena keberpihakannya pada negara kolega. Mereka mem­bentuk hegemoni dengan me­nim­bulkan penjajahan dan ketergantungan karena keku­asaan sumber ekonomi dan politik dunia terkonsentrasi pada seorang, kelompok atau negara tertentu saja sementara negara lain dijadikan sebagai negara terjajah, tertindas dan terdiskriminasi, cara-cara hegemoni ini sangat terlarang dalam Islam.

Apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat dan PBB terhadap penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar? Sung­guh memalukan dan sangat terlambat. Konon Barat dan PBB yang mengusung dan peduli terhadap hak azasi manusia (HAM) kali ini tidak tajam suara dan upayanya untuk mengatasi masalah ini. Tak pantas umat Islam me­nyerahkan persoalan kema­nusiaan ini kepada negara dan lembaga dunia yang nyata-nyata memusuhi umat Islam sebagai mana Alquran me­ngatakan “kebajikan itu bukan­lah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat” (Al-baqarah 2:177).

Jumhur ulama sepakat bahwa ayat ini termasuk meminta bantuan pada dunia barat dan timur untuk menye­lesaikan konflik-konflik yang berskala internasional yang dalam kasusnya dimana umat Islam yang menjadi objek penindasan dan penjajahan karena mereka memiliki misi yang tidak berkesesuian de­ngan misi atau risalah Islam yang lebih mencari jalan perdamaian abadi dari pada mencari teman untuk kon­spirasi dalam upaya mengeruk keuntungan baik politik dunia maupun penguasaan sumber-sumber ekonomi yang menjadi hegemoni-nya.

Umat Islam dan dunia Islam mesti sadar bahwa hanya dengan Islam dunia dapat dibangun dengan tata dunia baru yang berbasiskan pada toleransi dan perda­maian abadi. Sungguh berun­tung bagi siapapun yang dikaruniai Allah kepekaan untuk mengamalkan aneka benih peluang kebaikan yang diperlihatkan Allah ke­pada­nya. Beruntung pula orang yang dititipi Allah aneka po­tensi kelebihan oleh-Nya, dan dikaruniakan pula ke­sanggu­pan memanfaatkannya untuk se­banyak-banyaknya untuk per­damaian umat ma­nusia.

H HERMANTO, SE MM
(Anggota DPR RI Komisi IV)

Haluan 25 Agustus 2012
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar


 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011-2013. PKS Lubeg - All Rights Reserved - Email: pkslubeg@yahoo.com
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger