Oleh Irwan Prayitno
Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang patut disyukuri. Kemenangan itu adalah kemenangan bagi mereka yang berhasil melaksanakan ibadah puasa (shaum) dengan baik serta berhasil melakukan ibadah-ibadah lain yang disunatkan melaksanakannya selama bulan Ramadhan.
Shaum (puasa) dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi Al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha, shaum adalah menahan diri dari dorongan nafsu. Sedangkan menurut syara’, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam, untuk mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram (Tafsir Al-Manar, vol.2/114-115).
“Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah:183)
Kata kunci ibadah puasa adalah menahan hawa hafsu. Seperti pernah diungkapkan Nabi Muhammad SAW; Meski perang badar merupakan perang terbesar dalam sejarah Islam, namun masih ada lagi perang yang lebih besar dan lebih dahsyat, yaitu perang melawan hawa nafsu. Maka mereka yang menang dan adalah mereka yang berhasil mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu. Sudahkah kita termasuk yang meraih kemenangan dan berhasil kembali fitrah?
Selain itu, dalam perspektif Islam, kebangkitan umat tidak melulu selalu dikaitkan dengan kesuksesan jihad fisik dan capaian pembangunan fisik serta sumber daya umat baik alam maupun manusianya. Karena itu setiap tahun, Allah sediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim.
Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan umat muslim harus benar-benar fokus ke arah pencapaian tujuan ibadah tersebut yaitu “agar kamu bertakwa”. Kita tak boleh hanya berhenti sebatas menjaga aturan-aturan lahiriah puasa berupa larangan makan, minum dan berhubungan suami-istri dari pagi hingga sore hari. Namun, kita harus berupaya maksimal mewujudkan tujuan-tujuan disyariatkannya (maqasid syariah) ibadah puasa tersebut yang disimpulkan dalam kalimat “la’allakum tattaqun”.
Karena itu jika ada orang yang melaksanakan puasa di siang hari, namun melampiaskan hawa nafsunya di saat berbuka, maka sikap itu tentu tidak sesuai dengan makna puasa, yaitu melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Begitu juga mereka yang telah melaksanakan puasa sebulan penuh, lalu berpesta pora dan pamer kemewahan saat Idul Fitri. Hikmah yang mereka peroleh hanya sekedar lapar dan dahaga.
Karena itu Nabi dan para sahabat selalu bersedih saat berpisah dengan Ramadhan dan mereka berdoa agar diberikan lagi kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk melatih dan memperbaiki kualitas diri serta meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bulan Ramadhan juga merupakan kesempatan memperoleh ampunan dan pahala yang berlipat ganda.
Selamat merayakan Idul Fitri 1433 H, moga kita termasuk orang-orang yang menang, kembali fitrah dan berhasil meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Jika tahun ini belum berhasil, insya Allah tahun-tahun berikutnya kita perbaiki dan kita tingkatkan lagi. Allahu Akbar … Allahu Akbar… Allahu Akbar… Walillah Ilhamd… ***
Haluan 16 Agustus 2012
Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang patut disyukuri. Kemenangan itu adalah kemenangan bagi mereka yang berhasil melaksanakan ibadah puasa (shaum) dengan baik serta berhasil melakukan ibadah-ibadah lain yang disunatkan melaksanakannya selama bulan Ramadhan.
Shaum (puasa) dalam arti bahasa adalah menahan dari sesuatu. Menurut Qadhi Al-Baidhawi seperti dikutip Rasyid Ridha, shaum adalah menahan diri dari dorongan nafsu. Sedangkan menurut syara’, shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami-istri dari terbit fajar hingga matahari terbenam, untuk mencari keridhaan Allah (ihtisaban) dan mempersiapkan jiwa untuk meraih ketakwaan dengan menanamkan akhlak ‘muraqabatullah’ (pengawasan Allah) dan mendidik jiwa dalam mengekang dorongan syahwat sehingga mampu meninggalkan semua hal yang haram (Tafsir Al-Manar, vol.2/114-115).
“Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah:183)
Kata kunci ibadah puasa adalah menahan hawa hafsu. Seperti pernah diungkapkan Nabi Muhammad SAW; Meski perang badar merupakan perang terbesar dalam sejarah Islam, namun masih ada lagi perang yang lebih besar dan lebih dahsyat, yaitu perang melawan hawa nafsu. Maka mereka yang menang dan adalah mereka yang berhasil mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu. Sudahkah kita termasuk yang meraih kemenangan dan berhasil kembali fitrah?
Selain itu, dalam perspektif Islam, kebangkitan umat tidak melulu selalu dikaitkan dengan kesuksesan jihad fisik dan capaian pembangunan fisik serta sumber daya umat baik alam maupun manusianya. Karena itu setiap tahun, Allah sediakan Ramadhan sebagai madrasah bagi kaum beriman untuk memusatkan dirinya mengisi ulang (recharge) keimanan dan takwa sebagai sarana pembangunan karakter yang menjadi pusat kendali arah bagi pembangunan fisik dan sumber daya manusia muslim.
Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan umat muslim harus benar-benar fokus ke arah pencapaian tujuan ibadah tersebut yaitu “agar kamu bertakwa”. Kita tak boleh hanya berhenti sebatas menjaga aturan-aturan lahiriah puasa berupa larangan makan, minum dan berhubungan suami-istri dari pagi hingga sore hari. Namun, kita harus berupaya maksimal mewujudkan tujuan-tujuan disyariatkannya (maqasid syariah) ibadah puasa tersebut yang disimpulkan dalam kalimat “la’allakum tattaqun”.
Karena itu jika ada orang yang melaksanakan puasa di siang hari, namun melampiaskan hawa nafsunya di saat berbuka, maka sikap itu tentu tidak sesuai dengan makna puasa, yaitu melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Begitu juga mereka yang telah melaksanakan puasa sebulan penuh, lalu berpesta pora dan pamer kemewahan saat Idul Fitri. Hikmah yang mereka peroleh hanya sekedar lapar dan dahaga.
Karena itu Nabi dan para sahabat selalu bersedih saat berpisah dengan Ramadhan dan mereka berdoa agar diberikan lagi kesempatan untuk bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. Bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk melatih dan memperbaiki kualitas diri serta meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bulan Ramadhan juga merupakan kesempatan memperoleh ampunan dan pahala yang berlipat ganda.
Selamat merayakan Idul Fitri 1433 H, moga kita termasuk orang-orang yang menang, kembali fitrah dan berhasil meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Jika tahun ini belum berhasil, insya Allah tahun-tahun berikutnya kita perbaiki dan kita tingkatkan lagi. Allahu Akbar … Allahu Akbar… Allahu Akbar… Walillah Ilhamd… ***
Haluan 16 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar