Lahir di dekat Bukhara, Uzbekistan, Ibnu Sina—orang Barat mengenalnya
sebagai Avicenna—dikenal jenius sejak kecil. Di usia 16 tahun ia telah
menjadi dokter dan sang ibu menjadi pasien pertamanya. Namanya kian
menjulang ketika ia sukses menyembuhkan penguasa Dinasti Samaniyah dari
infeksi pencernaan yang mengancam penguasa itu.
Ibnu Sina menampik tawaran jabatan tinggi di kerajaan dan ia lebih memilih agar diberi akses ke perpustakaan kerajaan yang luar biasa koleksinya. Pengetahuan dan ketrampilan teknis kedokterannya kian meningkat, tapi justru inilah yang juga menjadikannya rebutan di antara para penguasa masa itu. Para penguasa memerlukan dokter yang andal agar tetap hidup sehat dan bertahan di atas singgasananya.
Kekacauan politik dan perseteruan antar penguasa menyebabkan Ibnu Sina harus berpindah-pindah tempat tinggal. Penguasa silih berganti mengikatnya sebagai dokter pribadi yang bagi Ibnu Sina tak ubahnya hidup di sangkar emas. Sebagai orang yang tidak ingin terlibat dalam politik dan kekuasaan, Ibnu Sina berkali-kali melepaskan diri dari ikatan dengan penguasa dan menjadi pelarian.
Selama bermusim-musim Ibnu Sina hidup dalam kejaran Mahmud Ghaznawi, penguasa Turki yang menjanjikan hadiah 5.000 keping emas bagi yang berhasil menangkap ilmuwan ini. Harga Ibnu Sina memang sangat tinggi bukan hanya karena kepiawaiannya dalam menyembuhkan penderita penyakit-penyakit berat, tetapi juga karena di mata Mahmud ilmuwan ini terlampau terus terang dalam menentang pandangannya.
Bagi Ibnu Sina, ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat sebagai guru maupun sebagai dokter jauh lebih berharga ketimbang menjadi orang dekat penguasa. Penjara, karena itu, menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan Ibnu Sina karena keteguhannya untuk mengatakan tidak kepada muslihat. Ia berusaha keras menghadapi siasat jahat, intrik dan tipu daya, dendam, maupun kedengkian orang-orang yang mabuk kuasa.
Husayn Fattahi memilih jalur novel-biografis untuk menceritakan hidup dan perjuangan dokter yang juga dikenal sebagai filsuf ini. Tokoh yang diceritakan dalam Tawanan Benteng Lapis Tujuh (diterbitkan oleh Zaman, cetakan II, 2011) ini memang mengajak kita untuk membacanya. Novel-biografis sebenarnya pendekatan yang sangat menarik untuk menghidupkan karakter sang tokoh maupun latar kehidupannya. Sayangnya, Fattahi kurang detail dalam membangun suasana dan latar peristiwanya.
Karya ini akan lebih “memaksa pembaca” (compelling) untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan Ibnu Sina bila Fattahi lebih sabar dalam menguraikan detail-detail lingkungan istana, padang pasir yang ganas dan mencekam, intrik-intrik politik, kegetiran, maupun kesunyian yang kerap menyergap ilmuwan ini. Nama besar penulis kitab Kanun Kedokteran yang menggemparkan dan selama berabad-abad menjadi rujukan dunia Barat inilah yang mula-mula membuat saya tertarik untuk membaca novel ini. ***
Dian
blog.tempointeraktif.com 16 Agustus 2012
Ibnu Sina menampik tawaran jabatan tinggi di kerajaan dan ia lebih memilih agar diberi akses ke perpustakaan kerajaan yang luar biasa koleksinya. Pengetahuan dan ketrampilan teknis kedokterannya kian meningkat, tapi justru inilah yang juga menjadikannya rebutan di antara para penguasa masa itu. Para penguasa memerlukan dokter yang andal agar tetap hidup sehat dan bertahan di atas singgasananya.
Kekacauan politik dan perseteruan antar penguasa menyebabkan Ibnu Sina harus berpindah-pindah tempat tinggal. Penguasa silih berganti mengikatnya sebagai dokter pribadi yang bagi Ibnu Sina tak ubahnya hidup di sangkar emas. Sebagai orang yang tidak ingin terlibat dalam politik dan kekuasaan, Ibnu Sina berkali-kali melepaskan diri dari ikatan dengan penguasa dan menjadi pelarian.
Selama bermusim-musim Ibnu Sina hidup dalam kejaran Mahmud Ghaznawi, penguasa Turki yang menjanjikan hadiah 5.000 keping emas bagi yang berhasil menangkap ilmuwan ini. Harga Ibnu Sina memang sangat tinggi bukan hanya karena kepiawaiannya dalam menyembuhkan penderita penyakit-penyakit berat, tetapi juga karena di mata Mahmud ilmuwan ini terlampau terus terang dalam menentang pandangannya.
Bagi Ibnu Sina, ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat sebagai guru maupun sebagai dokter jauh lebih berharga ketimbang menjadi orang dekat penguasa. Penjara, karena itu, menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan Ibnu Sina karena keteguhannya untuk mengatakan tidak kepada muslihat. Ia berusaha keras menghadapi siasat jahat, intrik dan tipu daya, dendam, maupun kedengkian orang-orang yang mabuk kuasa.
Husayn Fattahi memilih jalur novel-biografis untuk menceritakan hidup dan perjuangan dokter yang juga dikenal sebagai filsuf ini. Tokoh yang diceritakan dalam Tawanan Benteng Lapis Tujuh (diterbitkan oleh Zaman, cetakan II, 2011) ini memang mengajak kita untuk membacanya. Novel-biografis sebenarnya pendekatan yang sangat menarik untuk menghidupkan karakter sang tokoh maupun latar kehidupannya. Sayangnya, Fattahi kurang detail dalam membangun suasana dan latar peristiwanya.
Karya ini akan lebih “memaksa pembaca” (compelling) untuk masuk lebih jauh ke dalam kehidupan Ibnu Sina bila Fattahi lebih sabar dalam menguraikan detail-detail lingkungan istana, padang pasir yang ganas dan mencekam, intrik-intrik politik, kegetiran, maupun kesunyian yang kerap menyergap ilmuwan ini. Nama besar penulis kitab Kanun Kedokteran yang menggemparkan dan selama berabad-abad menjadi rujukan dunia Barat inilah yang mula-mula membuat saya tertarik untuk membaca novel ini. ***
Dian
blog.tempointeraktif.com 16 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar