Tangan
lelaki yang dulu pernah menampar pipi adiknya, itu sama dengan tangan
yang memerintah umat Islam dari Irak hingga Libya dengan keadilan yang
berperisai ketegasan.
Sebelumnya ia
mendengar Islam dari sumber sekunder, tidak menyimak bacaan Qur’an
langsung. Maka pikiran-pikirannya adalah anak-anak informasi yang
dikonsumsinya. Walau ia dikenal logis dan objektif, tapi tidak ada
sajian Islam sebagai bahan untuk diolah akalnya.
Ia
sudah menjadi tokoh berkelas, businessman, duta Quraisy, petarung
andalan, dan maskot pemuda kebanggaan mereka. Tapi semua potensi
terdalamnya terkungkung lingkungan, tidak meledak melebihi
pembesar-pembesar Quraisy yang ada. Ia menjadi lapis kedua dibanding
manusia-manusia sejenis Amr bin Hisyam [Abu jahal] atau Abu Sufyan.
Hingga momen awal surat Taha dibacanya sehabis penamparan tersebut. “Tâhâ, tidaklah Aku turunkan Qur’an itu agar kamu menderita…”. Ayat-ayat setelahnya kian menyentak
akal sehatnya, bahwa black campaign tentang Muhammad tidak sama dengan bukti yang disaksikan seperti kata pepatah Arab “laisal khabaru kal ’iyân” [tidaklah beritu itu sama dengan kesaksian mata].
Islamnya
Umar adalah awal dari sejarah kepahlawan Islam yang melegenda.
Pikirannya direkonstruksi. Gagasan Qur’an yang merekonstruksinya.
Budak-budak
hitam zaman Quraisy jika ditanya pendapatnya tentang sesuatu, mereka
akan tertawa seakan itu gurauan. Karena berkontibusi dalam proyek
sekecil apapun tidak pernah ada dalam ruang pikiran mereka. Tanah
terjauh yang tersorot mercusuar pikirannya hanya melayani majian hingga
diberi kebabasan suatu waktu. Tapi tiba-tiba saja Bilal yang Islam bisa
menjadi guru bagi orang-orang Arab yang Islam belakangan.
Seperti
itu juga cara befikir para bangsawan Quraisy. Sedikit saja clash
terjadi dengan tentara terendah Romawi, tatapan mata mereka jatuh ke
tanah. Sembari mengatakan “mereka Roma, penguasa bumi ini, tidak pantas kami melawan, bahkan sekedar membantah”.
Ruang
pikiran itu mengejewantah di kehidupan sehari-hari. Inilah yang
menjelaskan bahwa manusia di jazirah Arab sekedar hidup diantara
himpitan dua peradaban Roma dan Persia sebagai penonton. Kosa kata hidup
mereka tidak pernah melebihi itu, melayani peziarah Ka’bah. Ukuran
orang-orang yang tersukses mereka hanyalah yang mampu berbisnis ke Yaman
dan Syam di muslim dingin dan panas. Itu sudah maksimal.
Islam datang. Yang pertama kali
direkonstruksi adalah pikiran. Sehingga langkah revolusioner itu bermula dari “Iqra!”.
Membaca dunia untuk memahami penciptanya. Memahami zamannya untuk
menemukan solusinya. Membuka cakrawala untuk membangun ulang peradaban.
Menggantikan tumpukan ide mati di zaman jahiliyyah untuk menanam ulang
ide-ide perbaikan.
Ide-ide progresif
itu akan selalu mendapat perlawanan dari ide-ide mapan yang mengakar.
Tapi Islam memutus rantai itu. Ia mempunyai kaidah baru dalam mengukur
kebenaran, “Qul Hâtû burhânakum in kuntum Shâdiqîn” [berikanlah bukti-bukti kalian jika kalian orang yang benar].
Saat
Islam menang dalam pasar pemikiran dengan Fathu Makkahnya. Mulailah
pikiran umat direkonstruksi secara keseluruhan. Akhirnya rekonstruksi
pikiran itu yang
merubah selera hidup, harapan hidup, cara menjalaninya dan cara
mengakhirinya. Gagasan-gagasan baru mulai menggilas yang lama.
Progresivitas gagasan Islam bukan dalam ukuran bangsa Arab di zamannya,
tapi menembus keabadian.
Seperti itu
proses ledakan potensi sahabat-sahabat yang dikenal dunia saat ini.
Khalid bin Walid sekedar petarung desa jika tanpa Islam. Dengan Islam ia
buka pikirannya hingga ia buka dunia. Sampai-sampai Napoleon merenungi
strategi Khalid di catatannya hariannya ‘Prinsip-prinsip Perang’. Dan
Ustman hanyalah jutawan berhati baik yang mudah dilupa sejarah dan tidak
menjadi pembangun peradaban jika pikirannya bersama rombongan Abu
Jahal.
Perubahan umat dimulai dari
perubahan pikiran satu-persatu manusianya. Bayangkan, dari kesendirian
Muhammad muda di antara
masyarakat penggembala dan pedagang menuju kejayaan dimasa
Khulafaurrasyidin yang mengambil alih kepemimpinan Roma dan Persia.
Revolusi itu hanya membutuhkan waktu sepertiga abad. Ia adalah angka
yang sangat kecil bagi usia sejarah.
Tapi
sebenarnya kaidah rekonstruksi pikiran itu bukan kisah khusus umat
Islam. Ia berlaku bagi siapapun. Ketika akal bangsa Eropa dikekang oleh
kitab sucinya, terbentanglah malam panjang zaman kegelapan, the Dark Ages. Mereka tidak boleh membaca, mengkaji, berbicara, bahkan tidak boleh berfikir jika bertentangan dengan kitab suci.
Hingga
ide-ide baru malu-malu menampakan dirinya di depan tirani tokoh-tokoh
agama mereka. Antitesis dari gerakan penjara akal para penguasa itu kian
berkecamuk di pikiran pemuda-pemuda intelek khususnya. Ide
revolusioner tentang kebebasan berfikir, mempelajari alam, manajemen
informasi, validitas data, metodologi ilmiah, mulai menggantikan
dominasi pemikiran klasik pembesar-pembesar agama di Eropa. Dari sana
bermula revolusi hidup bangsa Eropa. Dalam empat abad, sejak Revolusi
Industri hingga hari ini mereka berubah.
Jika
syarat perdaban itu membutuhkan pemuda-pemuda produktif. Maka ide
tentang pemuda produktif itu bermula dari pikirannya. Pikiran yang diisi
oleh gagasan progresif. Gagasan yang menggantikan ide-ide mati dan
mematikan.
Hanya, merubah cara
berfikir itu tidak seperti mengajar baca tulis yang pasti diterima
semua orang. Kekuatan mapan yang telah lama hidup dengan pikiran-pikiran
lama itu akan tetap mempertahankan diri. Bahkan harus dibayar dengan
darah seperti
Kopernicus dan Galileo. Jikapun tidak, bekasnya tetap menjadi hambatan
rekonstruksi pemikiran. Bekas-bekas itu jika sudah menyebar sering
diyakini kebenaran mutlak, yang dalam bahasa al-Qur’an, “mereka mengatakan, justru kami mengikuti apa yang dijalani leluhur kami”.
Feurs, Perancis, 30 Juli 2012
Majalah Intima Edisi Agustus 2012
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar