Padang — Korban
galodo (banjir bandang, red) menghantam kawasan Batubusuk, Kelurahan
Lambungbukik, Kecamatan Pauh, Padang Rabu (12/9) lalu, mulai terserang
penyakit. Sedikitnya 180 orang mendatangi posko kesehatan yang
didirikan PT Semen Padang tak jauh dari lokasi bencana. Buruknya
sanitasi di pengungsian dan cuaca dingin, kian memperburuk kondisi
kesehatan korban galodo.
Anggota tim kesehatan di Posko PT Semen Padang, Jon Harfit kepada Padang Ekspres
menyebutkan, kebanyakan warga menderita sakit batuk, demam, flu,
reumatik, dan gatal-gatal. ”Penyakit ini memang akibat dampak bencana.
Selain cuaca dingin, kebanyakan korban masih tidur di tenda
pengungsian,” jelasnya.
Selama di pengungsian, tambah Jon,
korban sering begadang sampai larut malam sehingga kian menurunkan
psikis korban. “Kondisi inilah memperburut kesehatan mereka, sehingga
penyakit-penyakit menular seperti batuk, gatal-gatal dan lainnya
dengan mudah menyebar,” sebut Jon. Pantauan Padang Ekspres di
tenda pengungsian di Batubusuk kemarin (15/9), korban galodo masih
menempati tenda pengungsian. Sedikitnya ada 33 jiwa yang tinggal di
pengungsian, sebanyak 15 di antaranya masih bayi dan balita.
Suasana dalam tenda pengungsian
berukuran 4 x 7 meter itu sangat memprihatinkan. Selain pengap
akibat sirkulasi udara tidak berjalan normal, juga terlihat tumpukan
pakaian dan barang-barang yang berhasil diselamatkan. Rata-rata
korban galodo ini terlihat kurang tidur dan masih trauma mengingat
musibah yang baru saja mereka alami.
Di sisi lain, satu alat berat terlihat sedang bekerja mengangkut batu-batu besar dari dalam sungai ke pinggiran sungai.
Sejumlah pekerja terlihat memasang bronjong di kawasan itu untuk menimalisir dampak bencana. Agar air tidak menggerus tanah.
Sedangkan di jembatan Limaumanih, dua
alat berat terlihat membersihkan material galodo dari dalam sungai.
Puluhan pekerja juga terlihat memasang bronjong. Kondisi serupa
terlihat di Kotopanjang, satu alat berat dipergunakan mempercepat
pemasangan bronjong. Jembatan Kotopanjang yang putus saat banjir
bandang 24 Juli lalu, saat ini, tengah dalam masa perbaikan.
Di Tabiang Bandagadang, korban galodo terlihat membersihkan pakaian dan alat elektronik serta belas lumpur dari rumah mereka.
Kerusakan di Hulu
Kemarin (15/9) sekitar pukul 11.00
hingga 13.30, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melakukan pemantauan udara
dengan helikopter untuk mengungkap penyebab galodo. Hasil pemantauan
menguatkan temuan tim ekspedisi Sekretariat Bersama Pencinta Alam
(Sekber PA) Sumbar sebelumnya.
“Seluruh sungai di Padang telah kami
pantau, mulai Batang Kandis, Batang Kuranji, Sungai Airdingin, Batang
Arau, serta Timbalun. Dari lima sungai itu, ada 10 titik potensi kantong
air terbentuk. Lokasinya ada di tiga DAS (Daerah Aliran Sungai),” ujar
Kepala BPBD Sumbar, Yazid Fadhi. Pemantauan menggunakan helikopter
ini, tambahnya, berlangsung selama dua hari ke depan.
Dari pantauan udara, imbuh Yazid,
terlihat kerusakan di hulu sungai berupa rekahan tanah dan bekas
material kayu-kayu besar melintang di badan sungai. Kondisi tersebut
mengancam terjadinya galodo di Padang. Kayu-kayu itu terdiri dari bekas
longsoran pascagempa 2009 lalu, galodo dan akibat penebangan
masyarakat. Untuk jangka pendek, material di atas bukit hulu sungai itu
harus secepatnya dibersihkan.
“Jika kayu-kayu tak segera dibersihkan,
maka penampung air itu bisa jebol ketika curah hujan tinggi. Kondisi ini
akan menimbulkan banjir bandang lebih parah lagi,” bebernya. Namun
karena cuaca tidak memungkinkan, helikopter tidak dapat menjangkau
hulu sungai yang ditengarai sumber galodo. “Untuk lokasi yang tidak
terjangkau, kami akan minta bantuan Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA) untuk mengetahui kondisinya,” ucapnya.
Selain di Padang, tambahnya,
helikopter BNPB itu juga memantau kawasan rawan banjir dan longsor di
Lembah Anai, Sicincin-Malalak, dan Pesisir Selatan. Kepala Pusdalops
BPBD Sumbar Ade Edwar menambahkan, guna mengantisipasi risiko
berulangnya galodo serta jatuhnya korban jiwa, BPBD memasang CCTV guna
memonitor Batang Kuranji. CCTV ditempatkan di gedung Adzkia untuk
memantau debit sungai secara real time yang langsung terkoneksi ke
Pusdalops Penanggulangan Bencana BPBD Sumbar.
Selain itu, kata Ade, BNPB juga
melakukan analisis penginderaan jauh menggunakan citra satelit guna
menganalisis potensi longsor. Lalu, pembersihan kayu-kayu di hulu
sungai dengan membongkar bendungan-bendungan kecil di hulu sungai dengan
mengerahkan 100 personel beserta peralatan. Direncanakan,
pembersihan dilakukan selama tujuh hari dimulai hari ini (16/9).
Lalu, mengaktifkan piket siaga 24 jam di
lokasi rawan galodo dengan memberdayakan pemuda dan Kelompok Siaga
Bencana (KSB) masyarakat setempat. Untuk jangka panjang, Pemprov Sumbar
merekomendasikan kepada Pemko Padang merelokasi penduduk yang tinggal
di sekitar perbukitan dan aliran sungai Batubusuk.
Yazid mengatakan, lokasi bermukimnya
masyarakat di Batubusuk sangat terjal hingga kemiringan 70 derajat.
Lokasi itu tidak layak dijadikan permukiman. Potensi longsor sangat
tinggi. “Jika sudah hujan selama dua jam secara terus-menerus, sangat
membahayakan bagi masyarakat di sana,” tuturnya.
Data Relokasi Tuntas Pekan Ini
Rekomendasi relokasi warga yang berdiam
di lokasi rawan galodo di Batubusuk, diamini Wakil Wali Kota Padang
Mahyeldi Ansharullah. Politisi PKS itu menyatakan, untuk kawasan
kampung Bukit Ubi sampai Patamuan, memang wajib direlokasi. Hal ini
melihat kondisi perbukitan kawasan tersebut pascalongsor sudah tidak
stabil dan masih rawan longsor susulan.
“Tidak semua warga Batubusuk kita
relokasi, tapi untuk kawasan perkampungan Bukit Ubi sampai Patamuan
wajib dipindahkan,” tegasnya usai mengunjungi korban galodo di tenda
pengungsian Batubusuk.
Saat ini, tambahnya Mahyeldi, tim
bentukannya sudah mulai melakukan penelitian dan pendataan terhadap
kawasan perbukitan yang masih ditempati warga Batubusuk.
Diyakinkannya, pekan ini keputusan nama warga yang akan dipindahkan
sudah ke luar.
“Pekan ini keputusan itu sudah ke luar.
Sebab, saya tadi sudah rapat di masjid beserta ninik mamak dan tokoh
masyarakat Batubusuk. Mereka menerima rencana baik Pemko Padang
untuk merelokasi,” ujarnya.
Untuk pemindahan warga Batubusuk
nantinya, menurut Mahyeldi, pemerintah terlebih dahulu menyiapkan lahan
setelah itu baru dibangun hunian tetap (huntap). Namun, Mahyeldi
belum bisa memastikan di mana lahan relokasi korban galodo tersebut.
“Semua ini dilakukan untuk mengurangi risiko jatuhnya korban jiwa di
perkampungan mereka, saat ini sangat rentan terjadi longsor susulan,”
katanya.
Soala jembatan gantung Batubusuk,
Mahyeldi menegaskan, akan dibangun permanen. Sebab, jembatan tersebut
satu-satunya akses jalur evakuasi bagi warga Batubusuk. Dananya
dianggarkan APBD provinsi. “Saat ini sedang dilakukan proses tender.
Jadi, dalam waktu tiga bulan tahun 2012 ini diharapkan pengerjaannya
selesai,” tuturnya.
Mantan Wakil Ketua DPRD Sumbar itu
mengharapkan dukungan masyarakat selama proses pembangunan jembatan.
“Semua pemuda dan warga boleh ikut bekerja. Nantinya, semua itu akan
kita hargai. Kita sangat mengharapkan jangan ada protes dari pihak mana
pun terkait pembangunan jembatan ini. Jika ada tanah warga terpakai,
harap direlakan karena semua ini demi kepentingan dan keselamatan
bersama,” harapnya.
Buka Perkebunan
Di sisi lain, Ketua RW 03 Batubusuk
Marial mengakui bahwa warganya memang ada membuka lahan perkebunan di
beberapa kawasan perbukitan. Namun, itu semua hanya untuk kebutuhan
hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak.
“Tidak ada illegal logging. Yang ada
hanya beberapa kawasan perbukitan diolah menjadi lahan perkebunan,
seperti tanaman palawija, cokelat dan karet. Sebab, di semua titik
longsor tidak ada kawasan hutan,” tegasnya.
Apabila warga tidak berkebun, kata
Marial, dengan apa mereka membiayai sekolah anaknya sampai tamat kuliah.
“Mereka melarang kami berkebun, memangnya mau membiayai anak-anak
kami sekolah sampai tamat kuliah,” ujarnya.
Galodo di Batubusuk, menurut Marial,
berawal dari gempa 2009 lalu yang memicu banyaknya tanah merenggang di
perbukitan. Ketika hujan deras, maka air masuk ke sela-sela rongga tanah
dan bebatuan sehingga memicu galodo.
“Informasi ini sudah lama saya terima
dari warga yang biasa memikek burung. Mereka melihat banyak batu besar
di lereng perbukitan yang sudah merenggang. Tanah pun banyak juga yang
merekah,” katanya. (mg14/ayu/mg19)
Padang Ekspres 15 September 2012
0 komentar:
Posting Komentar