Jakarta
- Peningkatan daya saing dan diversifikasi energi menjadi kunci bagi
perekonomian Indonesia ke depan. Pelemahan nilai tukar rupiah dan
defisit perdagangan hanyalah gejala, namun intinya ada pada peningkatan
daya saing dan diversifikasi energi. Hal ini disampaikan oleh Anggota
Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam di Jakarta, Rabu (12/9) menanggapi
laporan peringkat daya saing global menunjukkan bahwa peringkat daya
saing Indonesia turun dari posisi 46 ke 50 dunia.
“Betul bahwa faktor krisis Eropa berperan dalam penurunan ekspor kita, tapi penurunan daya saing juga berpengaruh. Krisis Eropa itu faktor eksternal, tidak ada yang bisa kita lakukan terkait itu, tapi terhadap daya saing tentu kita bisa melakukan sesuatu, bisa kita tingkatkan dengan membenahi birokrasi dan infrastruktur. Selain itu strategi diversifikasi energi juga mendesak karena menjadi penyebab utama defisit perdagangan dan defisit fiskal kita”, kata Ecky.
Menurut Ecky rata-rata nilai tukar rupiah tahun ini jauh lebih rendah dibanding tahun lalu, tahun ini rata-rata sejak awal tahun hampir Rp 9.300/dolar AS, sementara tahun lalu rata-rata nilai tukar sebesar hampir Rp 8.800/dolar AS. Artinya dengan nilai tukar yang lemah saja kinerja ekspor tetap tidak mampu mengimbangi impor. Namun menurut Ecky jalan keluarnya bukanlah dengan pembatasan impor, karena impor non-migas kita sebagian besar justru berupa barang modal dan bahan baku penolong, kalau dibatasi dapat mengganggu kegiatan produksi di dalam negeri.
“Solusinya jangan parsial dan jangka pendek, tapi harus ke pusat masalahnya yaitu daya saing dan diversifikasi energi. Birokrasi dan infrastruktur dibenahi, ketergantungan perekonomian terhadap BBM dikurangi. Apalagi BBM ini memicu twin deficits, defisit perdagangan akibat impor yang besar dan defisit fiskal akibat beban subsidi yang luar biasa. Penggunaan gas dan panas bumi yang lebih murah dan melimpah di dalam negeri harus ditingkatkan,” kata Ecky.
Anggota Fraksi PKS ini berharap pemerintah segera membenahi masalah diatas sebelum efek krisis Eropa semakin besar dan mempengaruhi mitra dagang Indonesia yang lain. Menurut Ecky jika demikian maka defisit perdagangan dipastikan akan semakin besar.
pks.or.id
“Betul bahwa faktor krisis Eropa berperan dalam penurunan ekspor kita, tapi penurunan daya saing juga berpengaruh. Krisis Eropa itu faktor eksternal, tidak ada yang bisa kita lakukan terkait itu, tapi terhadap daya saing tentu kita bisa melakukan sesuatu, bisa kita tingkatkan dengan membenahi birokrasi dan infrastruktur. Selain itu strategi diversifikasi energi juga mendesak karena menjadi penyebab utama defisit perdagangan dan defisit fiskal kita”, kata Ecky.
Menurut Ecky rata-rata nilai tukar rupiah tahun ini jauh lebih rendah dibanding tahun lalu, tahun ini rata-rata sejak awal tahun hampir Rp 9.300/dolar AS, sementara tahun lalu rata-rata nilai tukar sebesar hampir Rp 8.800/dolar AS. Artinya dengan nilai tukar yang lemah saja kinerja ekspor tetap tidak mampu mengimbangi impor. Namun menurut Ecky jalan keluarnya bukanlah dengan pembatasan impor, karena impor non-migas kita sebagian besar justru berupa barang modal dan bahan baku penolong, kalau dibatasi dapat mengganggu kegiatan produksi di dalam negeri.
“Solusinya jangan parsial dan jangka pendek, tapi harus ke pusat masalahnya yaitu daya saing dan diversifikasi energi. Birokrasi dan infrastruktur dibenahi, ketergantungan perekonomian terhadap BBM dikurangi. Apalagi BBM ini memicu twin deficits, defisit perdagangan akibat impor yang besar dan defisit fiskal akibat beban subsidi yang luar biasa. Penggunaan gas dan panas bumi yang lebih murah dan melimpah di dalam negeri harus ditingkatkan,” kata Ecky.
Anggota Fraksi PKS ini berharap pemerintah segera membenahi masalah diatas sebelum efek krisis Eropa semakin besar dan mempengaruhi mitra dagang Indonesia yang lain. Menurut Ecky jika demikian maka defisit perdagangan dipastikan akan semakin besar.
pks.or.id
0 komentar:
Posting Komentar