Kelompok minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, China, mengalami
tekanan untuk tidak menjalankan ibadah puasa dari pemerintahan Partai
Komunis. Mereka bahkan dilarang memasuki masjid dan dipaksa untuk berbuka
puasa di tengah hari.
Kongres Uighur Dunia, sebuah organisasi Uighur di pengasingan, dilansir
media Hong Kong, South China Morning Post, mengungkapkan bahwa petugas
pemerintah kerap masuk ke dalam rumah warga setempat sambil membawa
buah-buahan dan minuman di siang hari. Mereka memaksa warga untuk
membatalkan puasa.
Juru bicara kongres ini, Dilxadi Rexiti, mengatakan bahwa pemerintah China
juga melarang pengajaran kitab suci al-Quran dan mengawasi dengan ketat
tempat-tempat ibadah. Salah satunya yang dipantau 24 jam adalah masjid di
utara kota Karamay, seperti diberitakan oleh koran Karamay Daily.
Juru bicara Wilayah Otonomi Xinjiang Luo Fuyong membantah tuduhan ini. Dia
berdalih, larangan puasa hanya diberlakukan untuk anak-anak kecil usia
sekolah. "Kami menghargai keyakinan beragama dan tradisi, kami tegas soal
ini. Hanya anak-anak SD yang diminta untuk tidak berpuasa selama Ramadan
demi alasan kesehatan," kata Luo.
Kendati membantah, namun laporan terus berdatangan, salah satunya dari
lembaga Commission on International Religious Freedom (USCIRF) asal Amerika
Serikat. Juru bicaranya, Dr Katrina Lantos mengatakan bahwa banyak Muslim
Uighur yang dipenjara karena melakukan praktik ibadah.
Selain itu, dalam laporan tahunan USCIRF, pegawai pemerintah, professor,
pelajar juga banyak yang didenda jika melakukan berpuasa. "Dengan alasan
stabilitas dan keamanan, Beijing melakukan tekanan terhadap Muslim Uighur,
termasuk mengincar pengajian dan ibadah," kata Lantos.
Laporan lainnya dikeluarkan April lalu oleh Asosiasi Uighur Amerika (UAA)
di Washington. Asosiasi ini mengutip seorang pemilik restoran dari Hotan
yang mengatakan bahwa pemerintah akan mendenda restoran yang tutup selama
bulan Ramadan. Padahal dia mengatakan, bulan Ramadan adalah waktu yang
tepat untuk melakukan renovasi dan perbaikan restoran.
Memicu Kekerasan
Masyarakat Uighur kerap bentrok dengan pemerintah China dan memakan tidak
sedikit korban jiwa. Akhir Juni lalu, warga bentrok dengan aparat dan
menewaskan 35 orang di Xinjiang. April lalu, 21 orang terbunuh dalam
peristiwa serupa di Kashgar.
Terparah terjadi pada 2009 lalu, bentrokan antara Muslim Uighur dengan
aparat dan etnis Han yang menewaskan 200 orang, seperti diberitakan Turkish
Weekly. Presiden UAA, Alim Seytoff, mengatakan pelarangan ibadah pada
Ramadan kali ini akan semakin memicu kekerasan di wilayah tersebut.
"Pelarangan ibadah yang agresif, bahkan telah masuk ke ranah pribadi oleh
pemerintah China, hanya akan memicu kemarahan masyarakat Uighur. Kekerasan
akan kembali pecah akibat pelarangan yang sistematis ini," kata Alim
Seytoff, presiden UAA.
viva.co.id
tekanan untuk tidak menjalankan ibadah puasa dari pemerintahan Partai
Komunis. Mereka bahkan dilarang memasuki masjid dan dipaksa untuk berbuka
puasa di tengah hari.
Kongres Uighur Dunia, sebuah organisasi Uighur di pengasingan, dilansir
media Hong Kong, South China Morning Post, mengungkapkan bahwa petugas
pemerintah kerap masuk ke dalam rumah warga setempat sambil membawa
buah-buahan dan minuman di siang hari. Mereka memaksa warga untuk
membatalkan puasa.
Juru bicara kongres ini, Dilxadi Rexiti, mengatakan bahwa pemerintah China
juga melarang pengajaran kitab suci al-Quran dan mengawasi dengan ketat
tempat-tempat ibadah. Salah satunya yang dipantau 24 jam adalah masjid di
utara kota Karamay, seperti diberitakan oleh koran Karamay Daily.
Juru bicara Wilayah Otonomi Xinjiang Luo Fuyong membantah tuduhan ini. Dia
berdalih, larangan puasa hanya diberlakukan untuk anak-anak kecil usia
sekolah. "Kami menghargai keyakinan beragama dan tradisi, kami tegas soal
ini. Hanya anak-anak SD yang diminta untuk tidak berpuasa selama Ramadan
demi alasan kesehatan," kata Luo.
Kendati membantah, namun laporan terus berdatangan, salah satunya dari
lembaga Commission on International Religious Freedom (USCIRF) asal Amerika
Serikat. Juru bicaranya, Dr Katrina Lantos mengatakan bahwa banyak Muslim
Uighur yang dipenjara karena melakukan praktik ibadah.
Selain itu, dalam laporan tahunan USCIRF, pegawai pemerintah, professor,
pelajar juga banyak yang didenda jika melakukan berpuasa. "Dengan alasan
stabilitas dan keamanan, Beijing melakukan tekanan terhadap Muslim Uighur,
termasuk mengincar pengajian dan ibadah," kata Lantos.
Laporan lainnya dikeluarkan April lalu oleh Asosiasi Uighur Amerika (UAA)
di Washington. Asosiasi ini mengutip seorang pemilik restoran dari Hotan
yang mengatakan bahwa pemerintah akan mendenda restoran yang tutup selama
bulan Ramadan. Padahal dia mengatakan, bulan Ramadan adalah waktu yang
tepat untuk melakukan renovasi dan perbaikan restoran.
Memicu Kekerasan
Masyarakat Uighur kerap bentrok dengan pemerintah China dan memakan tidak
sedikit korban jiwa. Akhir Juni lalu, warga bentrok dengan aparat dan
menewaskan 35 orang di Xinjiang. April lalu, 21 orang terbunuh dalam
peristiwa serupa di Kashgar.
Terparah terjadi pada 2009 lalu, bentrokan antara Muslim Uighur dengan
aparat dan etnis Han yang menewaskan 200 orang, seperti diberitakan Turkish
Weekly. Presiden UAA, Alim Seytoff, mengatakan pelarangan ibadah pada
Ramadan kali ini akan semakin memicu kekerasan di wilayah tersebut.
"Pelarangan ibadah yang agresif, bahkan telah masuk ke ranah pribadi oleh
pemerintah China, hanya akan memicu kemarahan masyarakat Uighur. Kekerasan
akan kembali pecah akibat pelarangan yang sistematis ini," kata Alim
Seytoff, presiden UAA.
viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar