Oleh : Cahyadi Takariawan
Pada bulan Rajab 1366 H (1936 M), Hasan Al Banna menulis surat kepada
Raja Faruq I, yang berkuasa di Mesir dan Sudan; serta Perdana Menteri
Musthafa Nahhas Pasha. Surat yang sama juga ditujukan kepada para Raja,
para pemimpin di berbagai negeri Islam, dan tokoh-tokoh pemerintahan di
berbagai negara. Surat inilah yang dikenal dengan Risalah Nahwa Nur,
atau Menuju Cahaya.
Risalah itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, bersama
tulisan-tulisan Al Banna lainnya, berjudul Majmu’ah Rasa’il, atau
Kumpulan Risalah Al Banna. Kita telah membaca Risalah Nahwa Nur ini
sejak tahun 1980-an, saat buku-buku dakwah Islam dari Timur Tengah mulai
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada saat membaca Risalah Nahwa Nur, perasaan dan pikiran kita
mengatakan, itu surat seorang pimpinan sebuah gerakan dakwah yang
ditujukan kepada para penguasa. Dengan kata lain, itu adalah surat
dakwah kepada para raja dan penguasa. Dari pergerakan dakwah, ditujukan
kepada para pemimpin pemerintahan dunia. Dari “kita”, untuk “mereka”.
Begitu persepsi kita selama ini.
Saya merasa terhentak, ketika pak Untung Wahono suatu ketika
menanyakan dalam suatu forum, “Pada zaman kita hidup sekarang,
sebenarnya surat Al Banna itu ditujukan kepada siapa?”
Ya, pertanyaan yang sangat menggelitik. Raja Faruk I sudah tidak ada.
Musthafa Nahhas Pasha sudah wafat. Raja-raja dan penguasa di Timur
Tengah sudah silih bergenti. Pemimpin-pemimpin pemerintahan dunia sudah
banyak yang tumbang, dan muncul pemerintahan baru.
Jangan-jangan surat itu ditujukan kepada kita ? Mengapa kita masih
selalu berpikir dan menganggap bahwa itu adalah “surat kita” yang
ditujukan “untuk mereka” ?
Pada saat para dakwah telah memasuki wilayah pengambilan kebijakan
strategis di Pemerintahan, ketika dakwah sudah memasuki wilayah
kekuasaan, apakah layak kita menganggap surat itu untuk orang lain ?
Bukankah Al Banna tengah memberikan bimbingan bagaimana menjadi
pemimpin, bagaimana menerapkan prinsip-prinsip kebenaran dan kebaikan
dalam mengelola pemerintahan ? Bukankah Al Banna tengah berbincang
tentang prinsip pengelolaan umat dan masyarakat ?
Sepertinya, Risalah Nahwa Nur saat ini memang ditujukan Al Banna
kepada kita, untuk kita. Oleh karena itulah kita harus mengkaji ulang,
mendalami lagi isi Risalah tersebut, dan mengambil berbagai pelajaran
pentingnya.
Berikut saya nukilkan sebagian kecil dari Risalah Nahwa Nur, yang harus dibaca sebagai “Surat Al Banna kepada Kita”.
*************
Kairo, Rajab 1336 H.
Kepada
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
“Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap
terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad, keluarga, serta para
sahabatnya.
Amma ba’du,
Kami persembahkan surat ini ke hadapan Tuan yang mulia, dengan
keinginan yang sangat untuk ikut memberi bimbingan kepada umat, yang
urusan mereka telah Allah swt. bebankan ke pundak Anda di zaman ini.
Suatu bimbingan yang kiranya dapat mengarahkan umat di atas sebaik-baik
jalan. Sebuah jalan yang dibangun oleh sebaik-baik sistem hidup, yang
bersih dari kerancuan dan jauh dari ketidakpastian, Lebih dari itu, ia
adalah jalan hidup yang telah teruji oleh sejarah yang panjang.
Kami tidak mengharap apa pun dari Anda. Cukuplah bahwa dengannya
berarti kami telah menunaikan kewajiban dan mempersembahkan kepada Anda
sebuah nasihat. Sungguh pahala Allah, dialah yang lebih baik dan lebih
kekal.
Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
Sesungguhnya Allah swt. telah menyerahkan urusan umat ini kepada
Tuan, Kemaslahatan urusan mereka di hari ini dan masa mendatang
merupakan amanah Allah yang harus Anda tunaikan. Anda bertanggung jawab
di hadapan Allah swt.
Jika generasi hari ini adalah kekuatan bagi Anda, maka generasi
esok merupakan tanaman. Alangkah mulianya seseorang, jika ia bersikap
amanah, bertanggung jawab, dan mau memikirkan umatnya. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw,
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya tersebut.”
Dahulu, pernah berkata seorang pemimpin yang adil, “Seandainya
seekor kambing di Irak terpeleset kakinya, maka aku menganggap dirikulah
yang harus bertanggung jawab di hadapan Allah. Mengapa aku tidak
membuatkan jalan untuknya?”
Umar bin Khathab menggambarkan tentang betapa agungnya tanggung
jawab dengan sebuah ungkapan, “Saya sudah cukup senang jika dapat keluar
dari dunia ini dengan impas: tidak mendapat dosa dan tidak pula diberi
pahala.”
Masa Peralihan
Dengan pengamatan yang jeli terhadap perjalanan hidup manusia,
kita dapat menyimpulkan bahwa masa yang paling rawan dalam kehidupan
umat adalah ketika berlangsungnya masa peralihan. Karena saat itulah
ideologi kehidupan yang baru diberlakukan, langkah-langkah ke depan
mulai digariskan, dan nilai-nilai dasar kehidupan –di mana umat akan
tegak di atasnya– mulai dibangun.
Oleh karenanya, jika langkah, program, dan sistem nilai yang
hendak dibangun itu jelas dan baik, maka berbahagialah umat tersebut.
Mereka akan menikmati kehidupan yang sarat dengan aktivitas yang mulia
dan agung. Demi keberhasilan yang telah mengantarkan umat pada kehidupan
yang baik, maka berilah kabar gembira kepada pemimpinnya dengan pahala
yang agung, keriangan indah yang abadi, sejarah yang bersih, dan
perjalanan hidup yang lurus…..”
************
Teruslah membacanya, dan coba rasakan, bukankah Risalah itu tengah berbicara kepada kita ?
0 komentar:
Posting Komentar