Jurnal Parlemen 26 April 2012
Senayan - DPR bersama Pemerintah menyetujui untuk mengesahkan RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS) menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR (Rabu, 11 April 2012), setelah melalui proses penyusunan dan pembahasannya sejak awal tahun 2010.
Seluruh fraksi di DPR setuju setelah ada perubahan beberapa substansi RUU PKS.
UU PKS menjadi jawaban yuridis formal terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat yang kian marak dengan kejadian konflik sosial serta eskalasinya berupa aksi brutal di masyarakat akhir-akhir ini.
"Seharusnya, penanganan kasus terbunuhnya anggota TNI AL, Kelasi Satu Arifin Siri yang diduga dilakukan oleh aksi brutal geng motor, dapat melibatkan pranata sosial yang ada seperti kesatuan di lingkungan TNI serta komunitas pengguna sepeda motor. Sehingga konflik sosial disertai aksi brutal yang berbasis komunal tidak menyebar ke seluruh kota di Indonesia," ujar H.M. Gamari Sutrisno anggota Fraksi PKS dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Kamis (26/4)
Seluruh fraksi di DPR setuju setelah ada perubahan beberapa substansi RUU PKS.
UU PKS menjadi jawaban yuridis formal terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat yang kian marak dengan kejadian konflik sosial serta eskalasinya berupa aksi brutal di masyarakat akhir-akhir ini.
"Seharusnya, penanganan kasus terbunuhnya anggota TNI AL, Kelasi Satu Arifin Siri yang diduga dilakukan oleh aksi brutal geng motor, dapat melibatkan pranata sosial yang ada seperti kesatuan di lingkungan TNI serta komunitas pengguna sepeda motor. Sehingga konflik sosial disertai aksi brutal yang berbasis komunal tidak menyebar ke seluruh kota di Indonesia," ujar H.M. Gamari Sutrisno anggota Fraksi PKS dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Kamis (26/4)
Anggota Pansus RUU PKS ini menyampaikan, maraknya aksi brutal dapat dicegah, diatasi, serta ditanggulangi dengan penguatan civil society. Yakni, dengan penanganan konflik sosial yang mengedepankan pentingnya peran serta masyarakat. Termasuk pranata adat dan atau pranata sosial yang ada.
Penguatan civil society tersebut dipertegas dengan prinsip demokratis, persuasif, dan meminimalisir tindakan-tindakan represif dalam penanganannya.
UU PKS menetapkan tiga tahap penting dalam penanganan konflik sosial, yaitu tahap pencegahan konflik, penghentian konflik, serta pemulihan pascakonflik. Dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang komprehensif, maksimal, dan integrative bagi peran institusi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil dalam ketiga tahap penanganan konflik sosial.
"Dari ketiga tahap penanganan konflik sosial yang diatur dalam UU PKS tersebut, tahap yang paling penting dan menjadi fokus dari UU ini adalah tahap pencegahan konflik melalui beberapa kegiatan yang melibatkan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Yaitu, memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun sistem peringatan dini," tegas Gamari.
Dalam perspektif politik hukum, posisi UU PKS tidak dalam konteks mengatur atau merumuskan tindak pidana baru.
"Oleh karenanya, UU PKS tidak menentukan mengenai sanksi pidana atau mekanisme proses hukum terhadap kejahatan atau tindak pidana kriminal," ujarnya.
Untuk itu UU PKS menformulasikan ruang-ruang kosong landasan hukum bagi peran TNI dan Polri sehingga UU PKS menjadi lex specialis tugas TNI untuk membantu pemerintah daerah dan Polri dalam penanganan konflik sosial.
"Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi konflik dalam arti benturan atau perseteruan fisik antarkelompok masyarakat. Sebab sudah berhasil diredam sebelum terjadi konflik melalui strategi pencegahan yang telah diatur dalam pasal UU PKS ini," pungkas Gamari.
0 komentar:
Posting Komentar