Pembatal Pahala Puasa
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ : مَنْ لَمْ
يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ
فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ )رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ)
Darinya (Abu Hurairah radhiallahu
anhu), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa yang tidak
meninggalkan ucapan dan perbuatan batil, serta prilaku bodoh, maka Allah tidak
butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya."
(Hadits riwayat Bukhari dan Abu
Daud, redaksi berasal dari beliau)
Pemahaman Hadits dan Kesimpulan
Hukum.
- (الزور) dari segi bahasa berarti
menyimpang jalan yang lurus. Maka, makna (قول
الزور) adalah ucapan yang menyimpang dari kebenaran atau ucapan yang
diharamkan, apakah dusta, gibah, namimah, dll. (الزور) sering diartikan dengan kata
dusta, karena dusta merupakan bentuk penyimpangan yang paling nyata dari sebuah
ucapan.
- (العمل به)
maksudnya adalah (عمل الزور) yaitu semua perbuatan menyimpang
yang diharamkan.
- Yang dimaksud 'bodoh' (الجهل) dalam hadits ini bukan lawan
dari ilmu (ضد العلم)
artinya tidak berilmu. Tapi bodoh yang dimaksud disini adalah lawan dari kesantunan dan akhlak mulia (ضد الحلم). Artinya adalah perbuatan
yang tidak bermoral dan tidak terkendali, seperti marah, emosi, dll.
- Hadits ini memberikan isyarat tentang pembatal puasa yang bersifat
maknawi, yaitu pembatal yang membatalkan nilai dan pahala puasa, apakah
sebagiannya atau seluruhnya, tapi tidak membatalkan hukum puasa. Seseorang yang
berpuasa, namun melakukan perbuatan yang diharaman, baik ucapan, perbuatan
maupun tingkah laku, maka pahala puasanya akan berkurang ataupun gugur, namun
puasanya tetap sah dan tidak diwajibkan mengqadhanya. Berbeda dengan pembatal puasa
yang bersifat hukum, jika dilakukan maka puasanya batal, dan dia harus
mengqadha di kemudian hari.
- Kaidah untuk membedakan antara pembatal puasa secara maknawi dan secara
hukum adalah; Apabila sesuatu asalnya dilarang/haram (walau di luar puasa), maka
dia adalah pembatal secara maknawi, melakukannya dapat mengurangi atau
menggugurkan pahala puasa, namun tidak membatalkan secara hukum. Adapun jika
sesuatu tersebut dilarang karena puasa (seperti makan, minum dan jimak) dan boleh dilakukan di luar puasa, maka
melakukannya dapat membatalkan puasa secara hukum.
- Ibadah puasa bukan sebatas menahan lapar dan dahaga, tapi juga harus
menahan diri dari perbuatan tercela serta diharamkan agama. Justeru itulah yang
menjadi tujuan disyariatkannya ibadah puasa.
- Hadits ini tidak dipahami sebaliknya, bahwa perbuatan haram terlarang
saat beribadah puasa, sedangkan diluar itu dibolehkan. Pemahaman yang benar
adalah bahwa perbuatan haram tetap terlarang, baik saat puasa atau tidak. Hanya
saja, penekanannya lebih kuat saat seorang berada dalam keadaan puasa, apalagi
di bulan Ramadan. Sebagaimana haramnya
zina bagi orang yang sudah tua atau haramnya berlaku sombong bagi orang fakir.
Zina diharamkan bagi siapapun, namun terhadap orang tua dan sudah menikah,
keharamannya lebih berat. Begitupula sombong, diharamkan bagi siapapun, akan
tetapi lebih berat keharamannya jika ada orang fakir yang sombong.
- Mu'allif (pengarang Kitab Bulughul Maram)
mencantumkan hadits ini sebelum menyebutkan hadits-hadits lainnya tentang
pembatal puasa secara hukum. Kami memperkirakan bahwa mu'allif ingin
mengingatkan para pembaca agar tidak hanya memperhatikan pembatal-pembatal
puasa yang bersifat hukum, tapi juga memperhatikan 'pembatal-pembatal' puasa
yang bersifat maknawi.
Wallahua'lam.
Abdullah Haidir
0 komentar:
Posting Komentar