Terima kasih kepada pengunjung blog. Jumlah kunjungan telah melewati 23.000. Nikmati postingan baru setiap Sabtu-Ahad
Home » » Tentang Qadha, Fidyah dan Kafarat dalam Puasa

Tentang Qadha, Fidyah dan Kafarat dalam Puasa

Written By Unknown on Kamis, 23 Agustus 2012 | 11.36

Abdullah Haidir 


Bagi orang yang uzur tidak
berpuasa di bulan Ramadan, diwajibkan baginya mengqadha puasanya di hari-hari
lain sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah: 185.
·
Waktu qadha puasa terbuka
hingga menjelang Ramadan berikutnya. Berdasarkan ucapan Aisyah yang baru sempat
mengqadha puasanya di bulan Sya’ban karena sibuk mengurusi Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Namun jika dilakukan lebih cepat, akan lebih
baik.

·
Qadha puasa dapat dilakuakn
sekaligus terus menerus sesuai jumlah puasa yang ditinggalkan atau
berangsur-angsur.
·
Orang yang sudah mulai
berpuasa qadha Ramadan, maka dia tidak boleh mebatalkannya di tengah hari
kecuali uzur syar’i. Puasa qadha adalah puasa wajib dan bukan puasa sunah yang
dapat dibatalkan begitu saja di pertengahannya. Orang yang sudah mulai
melakukan ibadah yang wajib, harus dituntaskan, tidak boleh dihentikan di
pertengahan kecuali ada uzur syar’i.

·
Qadha hendaknya didahulukan
dari puasa sunah Syawal. Akan tetapi, jika puasa Syawal dahulu sebelum
menunaikan qadha, apakah pahala puasanya didapatkan? Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini. Sebagian berpendapat bahwa puasa Syawal tidak
berguna sebelum seseorang mengqadha puasa Ramadan yang tertinggal, karena puasa
Syawal terkait dengan puasa Ramadan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa puasa
Syawal tetap didapatkan keutamaannya, walaupun seseorang belum puasa qadha,
karena pada hakekatnya puasa qadha diberi keluangan waktu menunaikannya hingga
Ramadan berikutnya, sedangkan puasa Syawal terbatas pada bulan Syawal.

·
Jika hingga Ramadan
berikutnya seseorang tidak juga membayar qadha puasa Ramadan sebelumnya, jika
hal itu terjadi karena sebab yang membuatnya tidak dapat melakukan qadha
sebelum bertemu Ramadan berikutnya, maka dia tidak berdosa, cukup baginya
mengqadha puasanya. Namun jika hal itu terjadi karena kelalaiannya, artinya
sebenarnya dia mampu mengqadha sebelum datang Ramadan berikutnya, maka dia
berdosa dan mohon ampun karenanya. Kemudian dia wajib mengqadhanya. Jumhur
ulama berpendapat bahwa selain mengqadha diapun harus mengeluarkan fidya berupa
memberi seorang  miskin untuk setiap hari
puasa yang belum dia qadha. Hal ini didasari pada riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar
dan Abu Hurairah dalam masalah ini. Adapula ulama yang berpendapat tidak
diwajibkan membayar fidyah berdasarkan zahir ayat yang hanya mewajibkan qadha
bagi orang yang uzur berpuasa Ramadan. Setidaknya jika fidyah dilakukan bersama
qadha, akan lebih hati-hati. Wallahua’lam.

·
Jika seseorang meninggal
dunia, dalam keadaan dia memiliki qadha puasa yang belum ditunaikan, maka dilihat,
jika sebelum meninggal dia terus memiliki uzur untuk mengqadha puasanya,
seperti sakit terus misalnya, maka dia tidak memiliki kewajiban apa-apa, tidak
wajib dipuasakan dan tidak wajib difidyahkan, karena pada hakekatnya dia tidak
punya kewajiban puasa. Tapi jika sebelum meninggal dia sebenarnya mampu
mengqadha, namun dia tunda-tunda, maka dalam hal ini sebaiknya ahli warisnya
atau kerabatnya berpuasa untuknya. Berdasarkan hadits muttafaq alaih, “Siapa
meninggal dalam keadaan memiliki kewajiban puasa, maka walinya (kerabatnya)
hendaknya berpuasa untuknya.” (Muttafaq alaih)

·
Jika seseorang ragu jumlah
hari yang dia tidak berpuasa, 6 atau 7 hari misalnya. Maka diambil yang lebih
sedikit, karena sedikit itu yang yakin, dan hukum asalnya bahwa seseorang tidak
terkena kewajiban. Akan tetapi jika dia mengambil yang terbanyak untuk
kehati-hatian, itu juga baik. Jika dia tidak ingat sama sekali jumlah harinya,
maka dikira-kira berdasarkan dugaan terkuat.

·
Membayar kafarat dalam bab
puasa, berdasarkan zahir dalil yang ada, hanya berlaku bagi mereka yang
melakukan jimak di siang hari Ramadan dengan sadar. Yaitu kafarat mughalazah
(berat); Memerdekakan budak, jika tidak mampu, puasa dua bulan berturut-turut,
jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. Sebagian ulama berpendapat
bahwa mereka yang makan dan minum dengan sengaja juga harus dikenakan kafarat,
karena pada hakekatnya sama, yaitu merusak kesucian bulan Ramadan. Akan tetapi,
pendapat kedua ini tidak dilandasi dalil yang kuat  selain argumen tersebut.

·
Wanita hamil dan menyusui
yang tidak berpuasa Ramadan, apakah wajib qadha? Terdapat perbedaan pendapat
para ulama dlam masalah ini. Sebagian mengatakan wajib qadha saja, sebagian
mengatakan wajib qadha dan fidyah jika dia khawatir terhadap anaknya saja, dan
sebagian berpendapat bahwa dia wajib fidyah saja. Permasalahannya adalah apakah
wanita hamil disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh ataukah
dengan orang tua renta atau orang sakit yang ada harapan sembuh. Yang lebih
dekat adalah bahwa dia disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh,
maka dia diwajibkan untuk mengqadhanya. Disamping ada dalil lain dalam masalah
ini. Wallahua’lam.

·
Adapun fidyah, berlaku bagi
orang yang tak mampu puasa karena tua renta atau sakit yang tidak ada harapan
sembuh, berdasarkan penafsiran mu’tabar terhadap surat Al-Baqarah: 184. Maka
untuk setiap hari yang dia tidak berpuasa, dia memberi maka satu orang miskin.
Bisa dalam bentuk mentah dengan mengeluarkan setengah sha (sekitar 1,5 kg
makanan pokok) atau dengan memasaknya hingga siap dimakan lalu diberikan kepada
orang miskin.
·
Fidyah juga, sebagaimana
telah disebutkan, berlaku bagi orang yang terlambat membayar qadha hingga
Ramadan berikutnya dan wanita hamil serta menyusui, sesuai perbedaan pendapat
ulama yang ada dalam masalah tersebut.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar


 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011-2013. PKS Lubeg - All Rights Reserved - Email: pkslubeg@yahoo.com
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger