Oleh Irwan Prayitno
Bahwa gempa dan tsunami ada serta bisa terjadi, kita
semua sudah tahu, sudah melihat dan bahkan sebagian dari kita mungkin
sudah merasakan. Namun yang pasti, tak seorang pun yang tahu kapan,
dimana dan berapa kekuatan gempa dan tsunami yang akan terjadi. Bahkan
Jepang, negara berteknologi paling maju, paling berpengalaman, paling
siaga terhadap gempa dan tsunami sekalipun, ternyata tak berdaya ketika
bencana itu datang.
Jangan ditanya peralatan canggih apa yang tak dimiliki
Jepang untuk memprediksi gempa, mereka semua punya. Para pakar juga
demikian, mereka punya ahli paling jago sedunia tentang gempa dan
tsunami. Soal dana, apalagi, Jepang memiliki dana yang tidak terbatas
untuk menyelamatkan daerah dan masyarakatnya dari bencana gempa dan
tsunami.
Namun apa yang terjadi? Peristiwa gempa dan tsunami 11
Maret 2011 lalu meluluh lantakkan satu provinsi di Jepang. Ribuan orang
meninggal dunia, ribuan rumah dan bangunan hancur tak berbentuk, tak
terhitung kerugian yang ditimbulkan. Ternyata teknologi yang canggih,
para pakar yang mumpuni serta dana berlimpah yang disediakan untuk
mengantisipasi gempa dan tsunami tak ada artinya dibandingkan kekuatan
alam.
Bagaimana dengan Indonesia atau Sumatera Barat,
khususnya? Apakah kita punya teknologi secanggih Jepang, punya pakar
yang sepiawai mereka dan punya dana sebanyak yang mereka punya? Tentu
jawabnya belum. Kita belum punya teknologi secanggih yang mereka miliki,
belum punya cukup pakar seperti mereka, apalagi punya cukup dana. Di
Indonesia hanya pulau Kalimantan saja yang diduga tidak berpotensi
terjadi gempa dan tsunami. Selebihnya dari Sabang sampai Merauke,
berpeluang terjadi bencana yang sama. Cukupkah dana kita?
Jika semua hal di atas tidak kita miliki, harus dicari
kekuatan lain, potensi lain yang kita miliki yang bisa diandalkan untuk
mengatasi, minimal mengurangi resiko bencana. Prosedur
evakuasi/penyelamatan harus dibenahi kembali.
Secara umum jalan evakuasi tersumbat karena masyarakat
menggunakan jalan secara serabutan. Sejumlah masyarakat berusaha secepat
mungkin ke satu arah untuk mencapai tempat yang tinggi. Sementara
masyarakat lain menuju arah berlawanan untuk menjemput anak/istri mereka
ke rumah atau sekolah. Arus lalu lintas yang bertabrakan ini tentu
saja menimbulkan kemacetan dan kepanikan yang dahsyat. Sebaikanya ketika
terjadi gempa berpotensi tsunami, kita segera mencari tempat tinggi di
sekitar kita berada, bisa gedung bertingkat, masjid bertingkat atau
rumah bertingka
Seharusnya jika gempa terjadi suami tidak perlu
memikirkan istri, karena istri sudah tahu tempat yang harus ia tuju jika
terjadi gempa/tsunami. Begitu juga anak. Orang tua tak perlu kuatir
keadaan anaknya karena anak didampingi guru mereka, sudah punya protap
sendiri untuk menyelamatkan diri. Yang paling penting kita juga harus
tahu jalur apa yang harus ditempuh untuk menyelamatkan diri agar tidak
terjebak macet.
Prosedur dan protap seperti ini dan metode-metode
lainnya sudah lama disosialisasikan ke masyarakat. Mungkin belum banyak
yang terlibat atau peduli. Hal ini perlu disosialisasi ulang lagi.
Fasilitas penyelamatan seperti shelter, jalan evakuasi,
dan fasilitas lainnya pasca gempa, tentu perlu diadakan. Namun jika
semua itu dibebankan kepada pemerintah saja atau dibebankan ke
masyarakat saja, tentu tidaklah masuk akal. Kita harus bersama, bahu
membahu melakukan antisipasi, baik sebelum terjadi bencana, saat terjadi
bencana maupun pasca bencana.
Untuk itulah surat peringatan yang dikirimkan Mendagri
ke daerah-daerah/provinsi rawan bencana. Surat tersebut diteruskan ke 7
walikota/bupati di Sumbar. Maksudnya supaya pemerintah setempat bersama
masyarakat mengevalusi lagi hal apa saja yang perlu dibenahi dalam
rangka mengantisipasi jika terjadi gempa dan tsunami. Atau fasilitas apa
yang perlu diadakan untukmengantsipasi bencana. Semua kekurangan itu
harus dibenahi, agar kita lebih siap ketika terjadi bencana. Bukan pula
untuk menkut nakuti.
Satu hal lagi yang tidak dimiliki jepang adalah Allah. Seperti fiman
Allah dalam Al Quran, tidak ada satupun peristiwa di bumi ini yang
terjadi tanpa izin Allah. Jika akal kita belum mampu mencerna peristiwa
yang terjadi, maka kita serahkan kepada Allah. Seperti yang tertulis
dalam surat AlFatihah, jika tak ada lagi tempat untukmengadu dan minta
tolong, maka mengadu dan minta tolonglah kepada Allah. Semoga semua
ujian itu tidak memperlemah iman kita, tapi justru memperkuat. Insya
Allah.***Haluan 8 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar