Oleh Kemal Azis Stamboel (Anggota
Komisi XI DPR RI)
Kenaikan harga pangan menjelang puasa Ramadhan dan lebaran sudah menjadi siklus tahunan. Kondisi ini seolah-olah menjadi sebuah ritual yang sulit untuk diselesaikan. Secara logika ekonomi sederhana, masalah ini dapat dijelaskan dengan mudah. Menjelang puasa atau lebaran permintaan terhadap bahan makanan akan meningkat secara signifikan sedangkan stok penawaran yang tersedia tidak mampu memenuhinya maka harga akan menyesuaikan diri lebih tinggi yang kemudian mengakibatkan inflasi. Jika demikian kondisinya, solusi secara teoretisnya mudah: kontrol konsumsi masyarakat dan penuhi persediaan pangan secara baik dan mencukupi. Untuk solusi pertama sepertinya sulit dilakukan karena tingginya permintaan pada waktu ramadhan sudah menjadi budaya yang telah mengakar di masyarakat. Kalaupun mau dipecahkan, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosial-budaya yang bisa diterima oleh masyarakat. Bagaimana dengan solusi yang kedua? Ini yang menjadi pekerjaan rumah yang masih belum terselesaikan. Setiap tahun, supply side management bahan makanan tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Secara garis besar, saya melihat ada dua permasalahan yang mendasar yakni manajemen persediaan yang kurang baik dan distorsi pasar.
Kenaikan harga pangan menjelang puasa Ramadhan dan lebaran sudah menjadi siklus tahunan. Kondisi ini seolah-olah menjadi sebuah ritual yang sulit untuk diselesaikan. Secara logika ekonomi sederhana, masalah ini dapat dijelaskan dengan mudah. Menjelang puasa atau lebaran permintaan terhadap bahan makanan akan meningkat secara signifikan sedangkan stok penawaran yang tersedia tidak mampu memenuhinya maka harga akan menyesuaikan diri lebih tinggi yang kemudian mengakibatkan inflasi. Jika demikian kondisinya, solusi secara teoretisnya mudah: kontrol konsumsi masyarakat dan penuhi persediaan pangan secara baik dan mencukupi. Untuk solusi pertama sepertinya sulit dilakukan karena tingginya permintaan pada waktu ramadhan sudah menjadi budaya yang telah mengakar di masyarakat. Kalaupun mau dipecahkan, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosial-budaya yang bisa diterima oleh masyarakat. Bagaimana dengan solusi yang kedua? Ini yang menjadi pekerjaan rumah yang masih belum terselesaikan. Setiap tahun, supply side management bahan makanan tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Secara garis besar, saya melihat ada dua permasalahan yang mendasar yakni manajemen persediaan yang kurang baik dan distorsi pasar.
Kenaikan
permintaan menjelang puasa Ramadhan adalah fakta yang temporal dan siklikal
yang mana ini seharusnya bisa diantipasi oleh pemerintah pusat dan daerah.
Fakta krusial yang masih menjadi masalah adalah akurasi data persediaan bahan
makanan di daerah-daerah. Selama ini pemerintah pusat hanya fokus pada
ketersediaan pangan secara nasional. Dengan memprediksi berapa nilai konsumsi
nasional yang akan mungkin terjadi, pemerintah mengantispasinya dengan melihat
kapasitas produksi domestik apakah mampu memenuhi permintaan tersebut. Jika
kapasitas domestik dan cadangan yang dikelola Bulog tidak mampu memenuhi maka pemerintah
mengambil kebijakan impor sebagai instrumen stabilisasi harga.
Kebijakan
impor adalah solusi praktis yang selama ini sering ditempuh oleh pemerintah
untuk meredam inflasi volatile foods. Tentunya kebijakan ini akan
berpotensi merugikan produsen karena harga bahan pangan impor relatif lebih
murah dibandingkan harga domestik. Satu poin penting yang mungkin kurang
mendapat perhatian yakni neraca perdagangan daerah. Selama ini pemerintah hanya
melihat scope neraca perdagangan nasional. Perlakuan semacam
ini akan bias dan rentan mismatch dengan kondisi riil di
daerah-daerah. Lonjakan harga-harga di daerah adalah cermin dari kurang
optimalnya pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah
daerah. Fakta yang selama ini terjadi adalah disparitas antar daerah dalam
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Ada daerah yang surplus namun ada daerah yang
justru defisit. Kondisi ini seharusnya bisa dimanfaatkan dengan cara
membuat domestic connectivity dan intra-trade
cooperation antara daerah.
Optimalisasi
potensi dan peluang perdagangan antar daerah ini bisa dikembangkan menjadi
sebuah sistem kerja sama yang terpadu. Minimal dengan mengintegrasikan
transaksi perdagangan antar daerah sehingga ada link and match antar
daerah yang defisit dan surplus berjalan. Dari neraca perdagangan
daerah ini sebenarnya pemerintah mampu menangkap early warning
indicators kelangkaan persediaan pangan di daerah ini secara akurat. Selain
itu, jika kerjasama perdagangan ini diperkuat lebih jauh maka akan saling
memperkuat daya saing industri pertanian daerah. Intra-trade model antar
daerah ini jauh lebih besar dampak ekonominya bila dibandingkan kita harus
impor dari negara lain. Ia akan menciptakan multiplier effect terhadap
peningkatan total faktor produktivitas sektor pertanian, daerah-daerah akan
semakin saling berkompetisi untuk menjadi supplier daerah-daerah lain. Kondisi
ini dalam jangka panjang akan meningkatkan daya saing sektor pertanian dan
perdagangan nasional.
Binding
constraint dari pelaksanaan intra-trade antar daerah
adalah masalah tingginya biaya transportasi dan transaksi. Hal yang paradoks
misalnya jika biaya transportasi dan traksaksi impor komoditas pangan dari
negara tetangga seperti Vietnam, Thailand dan Singapura ternyata lebih rendah
bila dibandingkan dengan daerah di Jawa membeli dari daerah luar jawa.
Permasalahan ini terjadi disebabkan oleh buruknya infrastruktur fisik dan non
fisik dari sistem pendukung domestic connectivity yang
mendukung kegiatan kerjasama industri dan perdagangan antar daerah. Selama
masalah infrastruktur ini belum terselesaikan, tingginya biaya transportasi dan
transaksi akan menjadi disinsentif perkembangan sistem kerjasama perdagangan
antar daerah. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara Kementrian
Perdagangan, Pemerintah Daerah, dan Kementrian Pekerjaan Umum untuk
membangun domestic connectivity yang lebih baik lagi.
Dalam
merespon lonjakan-lonjakan harga yang tak terkendali dari sisi supply fungsi
Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) sangat berperan. Dengan mengacu pada
data-data neraca perdagangan daerah, TPID bekerjasama dengan pemerintah daerah
dan Bank Indonesia melakukan langkah-langkah taktis antispatif dalam memastikan
manajemen persediaan berjalan dengan baik. Di tangan TPID inilah inisiatif
pengawasan manajemen persediaan daerah berbasis neraca perdagangan daerah
bergantung. Sebagai institusi yang mampu mendeteksi ‘denyut nadi’ inflasi
daerah, TPID diharapkan mampu melakukan tindakan-tindakan preventif sehingga inflasi
dapat dimitigasi.
Selain memastikan manajemen persediaan berjalan dengan baik, pemerintah
harus mampu menghilangkan faktor-faktor yang mendistorsi pasar. Struktur pasar
produk-produk pertanian masih masih cukup banyak dikuasai oleh para tengkulak
dan pengepul. Pasar terdistorsi karena para mafia dan spekulan
membajak pasar sehingga menyebabkan kelangkaan persediaan
barang. Distorsi ini harus dihilangkan dengan strategi yang
tepat dan cepat. Keberadaan para spekulan dan mafia ini mengambil nilai manfaat
yang harusnya dinikmati oleh produsen maupun konsumen. Langkah operasi pasar
adalah salah satu strategi yang bisa dijalankan. Operasi pasar seharusnya tidak
menunggu momen-momen menjelang ramadhan saja, tapi sebelum-sebelumnya juga
harus sudah dilakukan. Penegakan hukum dan regulasi pasar harus diterapkan
dengan tegas. Struktur pasar pertanian harus direformasi secara lebih ketat
sehingga para pemain besar tidak lagi dengan secara leluasa membeli
dalam jumlah yang sangat signifikan. Bulog tidak boleh kalah dengan para
tengkulak dan mafia, ia harus memainkan perannya lebih proaktif lagi ke
lapangan menemui para petani. Dengan begitu, persediaan pangan di pasar aman
dan terjaga. Sudah waktunya pemerintah menyelesaikan siklus tahunan inflasi ini
agar stabilitas harga tercipta dan masyarakat menjalankan ibadah Ramadhan tanpa
dihantui kecemasan lonjakan harga yang mengkhawatirkan.
Bisnis Indonesia 24 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar