Padang – Provinsi Sumatera Barat masih berpotensi menambah areal komoditas kakao (coklat) seluas 110.000 hektare, karena terdapat lahan-lahan terlantar di sejumlah kabupaten dan kota. Lahan-lahan yang belum dimanfaatkan pada kabupaten dan kota berpotensi untuk pengembangan kakao. Mudah-mudahan target peluasan 200 ribu hektare dapat tercapai sampai 2015, ujar Gubernur Sumbar Irwan Prayitno di Padang, Senin malam (5/11) dalam acara pembukaan Simposium Kakao 2012.
Kini luas penanaman kakao Sumbar tercatat 121 ribu hektare dengan volume produksi 61.000 ton, sedangkan dengan adanya target pengembangan mencapai 200 ribu hektare pada 2015 diprediksi dapat mencapai produksi 120 ribu ton.Irwan juga mengatakan, sentra salah satu komoditas unggulan Sumbar itu, tersebar hampir pada semua kabupaten, di antaranya Padang Pariaman, Pasaman dan Limapuluh Kota. Program pengembangan kakao merupakan salah satu prioritas dalam peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, khususnya kalangan petani.
Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan program tersebut, telah disusun kegiatan seperti penyediaan bibit unggul, pengedalian hama penyakit, pemeliharaan, dan penyediaan sarana produksi serta memberikan bantuan salat pengolahan hasil.
Bantuan yang diberikan untuk kalangan petani bersumber dari APBD provinsi dan anggaran dari pemerintah pusat, serta menjalin kerja sama dengan pihak ketiga, seperti dengan ADM Cocoa Singapura. Saat ini di Sumbar, kalangan kelompok tani sudah melakukan pengembangan produk turunan dari kakao, di antaranya di Padang Pariaman dan Sawahlunto, ujarnya.
Ia menilai, melalui gerakan nasional kakao yang mencakup beberapa provinsi di antaranya Sumbar, tentu akan menjadi motivasi bagi kalangan petani. Terkait, melalui Gernas ada upaya peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi, produktivitas kakao diharapkan meningkatkan satu ton per hektare.
Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang menilai, Sumbar merupakan penghasil mutu kakao yang bagus, sehingga menjadi bahan pencampuran bagi pedagang di Lampung.
Menurut Zulhefi , biji kakao asal Sumbar yang dijual ke Lampung, dijadikan pencampuran pengusaha di sana sebelum dilakukan ekspor ke sejumlah negara tujuan. Jadi, rencana perluasan areal tanaman kakao di Sumbar, merupakan langkah yang positif karena pada 2015, sedikitnya 800 ribu ton kebutuhan bahan baku kalau semua mesin giling pengolahan beroperasi di Indonesia. Apabila tak ada penambahan luas areal komoditas ekspor tersebut, tentu beberapa tahun mendatang akan kekurangan bahan baku.
Seiring dengan tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri, maka arah ke depan bagaimana produk turunan dari kakao banyak dihasilkan dalam negeri. Sumbar pun bisa berinovasi terhadap produk makanan ringan, misalnya keripik balado diberi campuran cokelat. Artinya perlu alih teknologi terhadap pelaku usaha kecil, ujarnya. [humas]
0 komentar:
Posting Komentar