Oleh Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar
Gubernur Sumbar
Politik adu domba telah terkenal di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Bangsa penjajah saat itu menamakannya sebagai devide et impera.
Ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah penjajahan
Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi. Politik adu
domba digunakan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh penjajahan
Belanda di Indonesia.
Secara
prinsip, praktik politik adu domba adalah memecah belah dengan saling
membenturkan (mengadu domba) kelompok besar yang dianggap memiliki
pengaruh dan kekuatan. Tujuannya adalah agar kekuatan tersebut
terpecah-belah menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak berdaya. Dengan
demikian kelompok-kelompok kecil tersebut dengan mudah dilumpuhkan dan
dikuasai.
Unsur-unsur
yang digunakan dalam praktik politik jenis ini adalah; 1. menciptakan
atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah terbentuknya
sebuah aliansi yang memiliki kekuatan besar dan berpengaruh, 2.
memunculkan banyak tokoh baru (tokoh boneka?) yang saling bersaing dan
saling melemahkan, 3. mendorong ketidak percayaan dan permusuhan antar
masyarakat, 4. mendorong konsumerisme yang pada akhirnya memicu
timbulnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Di negara asalnya Belanda, politik devide et impera
sudah lama tak digunakan lagi. Belanda saat ini saat menjunjung tinggi
hak asasi manusia (HAM). Namun justru di Indonesia politik itu nampaknya
masih membekas dalam dan masih saja digunakan. Apalagi setelah era
reformasi yang oleh banyak pihak dinilai salah kaprah. Legislatif
seperti berlawanan dengan eksekutif, partai A saling melemahkan partai
B, begitu sebaliknya dan seterusnya. Padahal justru seharusnya saling
bekerjasama dan saling memperkuat dan melengkapi.
Siapa saja
bisa dijadikan domba aduan, dari warga masyarakat biasa sampai warga
kelas atas bisa jadi objek sasaran. Sesama pedagang bisa dipicu
perpecahan, gara-gara masalah kecil bisa berkembang menjadi konflik yang
besar. Perbedaan agama, suku dan sebagainya bisa memunculkan percikan
api konflik yang bila diberi bensin segera berkobar menjadi konflik
besar. Kita sudah banyak melihat buktinya terjadi sehari-hari. Media
massa seperti bertepuk tangan dan seolah-olah ikut memberi semangat
melihat kejadian ini. Inikah yang dimaksud dengan reformasi dan
demokrasi?
Dalam
politik adu domba, konflik sengaja diciptakan. Perpecahan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah terwujudnya aliansi yang bisa menentang
penjajah (imperialisme), entah itu kekuasaan di pemerintahan, di partai,
kelompok di masyarakat, dan sebagainya. Pihak-pihak atau orang-orang
yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan, dibantu atau dipromosikan,
mereka yang tidak bersedia bekerjasama, segera disingkirkan.
Ketidak
percayaan terhadap pimpinan atau suatu kelompok sengaja diciptakan agar
pemimpin atau kelompok tersebut tidak tumbuh besar dan solid. Adakalanya
tidak hanya ketidak percayaan, bahkan permusuhan pun sengaja disemai.
Teknik yang digunakan adalah agitasi, propaganda, desas-desus, bahkan
fitnah. Praktik seperti itu tumbuh subur saat ini.
Di zaman
penjajahan Belanda, mereka menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi
karyawan mereka, diberi kehidupan yang layak, tapi sadar atau tidak,
mereka dikondisikan untuk mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu
kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan
peperangan dan perpecahan. Alhasil saat itu tidak muncul sebuah kerajaan
yang besar dan kuat.
Di tengah
masyarakat kita dewasa ini, di tengah era informasi yang sangat liberal,
praktik adu domba itu menjadi tontonan sehari-hari. Kita secara vulgar
disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk
memperebutkan kekuasaan, saling tuding, saling caci-maki, saling sikut
dengan intrik-intrik politik yang sangat kasar dan kejam. Penggiringan
isu, disadari atau tidak, dilakukan sedemikian rupa untuk saling
menghancurkan.
Di era
merdeka dan modern seperti saat ini, tentu kita tidak ingin dijadikan
domba aduan oleh siapapun dan pihak manapun. Imperalisme maupun neo
imperalisme, tidak boleh lagi menjadi raja di negeri yang kita cintai
ini, apalagi di Sumatera Barat negeri asal penggagas berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Password
untuk mengatasi masalah ini sama dengan yang kita gunakan saat mengusir
penjajah Belanda dulu, yaitu persatuan dan kesatuan. Mari bersatu
menghimpun kekuatan bersama, jangan mau dinina-bobokan dan lalu diadu
domba. Indonesia adalah negara besar dan memiliki potensi yang besar.
Dengan kesatuan dan persatuan, insya Allah kita capai kejayaan bersama
dalam waktu singkat. Amiin. ***
Padang Ekspres, 27 Februari 2013
0 komentar:
Posting Komentar