Padangn —Pemanfaatan
tanah ulayat untuk berinvestasi di Sumbar, rentan menimbulkan konflik
antara masyarakat dengan investor. Bahkan, berujung terjadinya
gesekan antaramasyarakat yang sama-sama mengklaim sebagai pemilik
ulayat.
Agar itu tidak terulang lagi di masa datang, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengeluarkan peraturan gubernur (Pergub) No 21 Tahun 2012 tentang Tatacara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Pergub secara tegas mengatur hak dan kewajiban masyarakat dan pemodal yang memanfaatkan tanah ulayat untuk berusaha di berbagai sektor, seperti perkebunan dan pertambangan.
Setiap tanah ulayat dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal, selagi ada kesepakatan penanam modal dengan pemilik atau penguasa ulayat. ”Apabila tanah ulayat yang dimanfaatkan pemodal masa perjanjian kontraknya telah berakhir, maka pemerintah daerah wajib memulihkan status tanah ulayat ke status semula. Tanah dikembalikan kepada pemerintah nagari. Tapi, bukan berarti pemerintah nagari dapat seenaknya membagi, apalagi memperjualbelikannya, karena itu akan menjadi kekayaan nagari,” ungkap Kepala Badan Penanaman Modal (BKPM) Sumbar Masrul Zein kepada Padang Ekspres di kantornya, kemarin (3/10).
Menariknya, dalam pergub itu juga mengakomodir keragaman tiap nagari di Sumbar. Pemanfataan tanah ulayat harus disesuaikan hukum adat yang berlaku di masing-masing nagari, seperti dalam bentuk ganti rugi untuk tanah yang digunakan, dan kompensasi untuk tanah yang terkena dampak kegiatan perusahaan pemodal.
Semua itu diputuskan secara musyawarah dan mufakat, antara pemodal dengan masyarakat adat secara adil dan terbuka. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat memegang prinsip saling menguntungkan bagi pemodal maupun pemilik ulayat. Perjanjian bisa berbentuk sewa, bagi hasil, kepemilikan saham, dan bentuk lainnya sesuai kesepakatan. ”Hasil musyawarah dan mufakat itu dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara penanam modal dan pemilik atau penguasa tanah ulayat yang diketahui wali nagari, KAN dan LKAAM kecamatan setempat,” jelas Masrul Zein.
Perjanjian kerjasama harus memuat tentang hak dan kewajiban masing- masing pihak, lamanya pemanfaatan lahan, luas tanah ulayat yang dimanfaatkan dan sanksi jika salah satu pihak ingkar janji. Sebelum pemodal melakukan kegiatan usaha di tanah ulayat setempat, harus dilakukan kajian kecocokan kondisi alam dan pendekatan serta sosialisasi kepada pemerintahan nagari, KAN, LKAAM kecamatan, masyarakat hukum adat setempat dan penguasa tanah ulayat.
Semua itu, diawali dengan pengurusan izin usaha terkait penanaman modal kepada SKPD terkait di provinsi, kabupaten atau kota, sesuai peraturan perundang-undangan. Setelah perjanjian pemanfataan tanah ulayat ditandatangani pemodal dan penguasa tanah ulayat, maka seketika itu pula dilakukan penyerahan ganti kerugian untuk tanah yang digunakan langsung, dan kompensasi bagi pemilik tanah yang terkena dampak kegaiatan usaha. ”Hak pemodal untuk memperpanjang atau memperbarui kontrak pemanfaatan tanah ulayat bisa dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan, dan didasarkan persetujuan pemilik atau penguasa tanah ulayat,” kata Masrul Zein.
Soal pemulihan tanah ulayat yang habis masa pemanfaatannya, Masrul menjelaskan, itu dilakukan lewat pendelegasian kewenangan penguasaan atas tanah tersebut oleh pemerintah daerah kepada pemerintah nagari, untuk diteruskan kepada pemilik atau penguasa tanah ulayat. Apabila tanah ulayat nagari, maka pemulihan dilakukan dengan menjadikannya sebagai harta kekayaan nagari untuk sumber pendapatan nagari. Tanah itupun dapat dibagi-bagikan kepada kaum dan suku di nagari. ”Untuk ketentuan lebih lanjutnya diatur bupati atau wali kota setempat sesuai peraturan kepala daerah,” ucapnya.
Sengketa yang terjadi dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk penanaman modal diselesaikan secara musyawarah dan mufakat untuk mencapai kesepakatan secara langsung melalui negosiasi . Dalam hal kata mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah nagari, KAN. LKAAM, camat , pemerintah daerah dan pihak ketiga lainnya yang independen sebagai mediator untuk melakukan mediasi sengketa.
“Apabila masih tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase dan tidak menutup kemungkinan penanam modal dan pemilk atau penguasa tanah ulayat untuk menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan negeri setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan,” ucapnya
Pemanfaatan tanah ulayat untuk penanam modal yang telah berlangsung sebelum peraturan ini, dapat tetap melaksanakan dan dijamin hukum sampai masanya berakhir.
Kepala Biro Diklat LKAAM Sumbar Zainuddin Datuak Rajo Lengang menyambut baik adanya pergub tersebut. Menurutnya, pergub itu bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat pemilik ulayat, dan membuat nagari tidak bangkrut akibat asset nagari digarap pemodal.
”Kami mendukung pergub itu karena manfaatnya banyak untuk masyarakat. Kalau tanah ulayat dibagi-bagi dan diperjualbelikan, bisa miskin nagari tersebut. Pemprov sudah menyosialisasikan materi pergub itu ke kami sebelumnya, dan materi di pergub tersebut sudah sesuai kebutuhan terkait persoalan tanah ulayat. Pergub ini juga bisa mengantisipasi konflik pemanfaatan tanah ulayat,” tuturnya. (*)
Padang Ekspres 4 Oktober 2012
Agar itu tidak terulang lagi di masa datang, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengeluarkan peraturan gubernur (Pergub) No 21 Tahun 2012 tentang Tatacara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Pergub secara tegas mengatur hak dan kewajiban masyarakat dan pemodal yang memanfaatkan tanah ulayat untuk berusaha di berbagai sektor, seperti perkebunan dan pertambangan.
Setiap tanah ulayat dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal, selagi ada kesepakatan penanam modal dengan pemilik atau penguasa ulayat. ”Apabila tanah ulayat yang dimanfaatkan pemodal masa perjanjian kontraknya telah berakhir, maka pemerintah daerah wajib memulihkan status tanah ulayat ke status semula. Tanah dikembalikan kepada pemerintah nagari. Tapi, bukan berarti pemerintah nagari dapat seenaknya membagi, apalagi memperjualbelikannya, karena itu akan menjadi kekayaan nagari,” ungkap Kepala Badan Penanaman Modal (BKPM) Sumbar Masrul Zein kepada Padang Ekspres di kantornya, kemarin (3/10).
Menariknya, dalam pergub itu juga mengakomodir keragaman tiap nagari di Sumbar. Pemanfataan tanah ulayat harus disesuaikan hukum adat yang berlaku di masing-masing nagari, seperti dalam bentuk ganti rugi untuk tanah yang digunakan, dan kompensasi untuk tanah yang terkena dampak kegiatan perusahaan pemodal.
Semua itu diputuskan secara musyawarah dan mufakat, antara pemodal dengan masyarakat adat secara adil dan terbuka. Artinya, pemanfaatan tanah ulayat memegang prinsip saling menguntungkan bagi pemodal maupun pemilik ulayat. Perjanjian bisa berbentuk sewa, bagi hasil, kepemilikan saham, dan bentuk lainnya sesuai kesepakatan. ”Hasil musyawarah dan mufakat itu dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama antara penanam modal dan pemilik atau penguasa tanah ulayat yang diketahui wali nagari, KAN dan LKAAM kecamatan setempat,” jelas Masrul Zein.
Perjanjian kerjasama harus memuat tentang hak dan kewajiban masing- masing pihak, lamanya pemanfaatan lahan, luas tanah ulayat yang dimanfaatkan dan sanksi jika salah satu pihak ingkar janji. Sebelum pemodal melakukan kegiatan usaha di tanah ulayat setempat, harus dilakukan kajian kecocokan kondisi alam dan pendekatan serta sosialisasi kepada pemerintahan nagari, KAN, LKAAM kecamatan, masyarakat hukum adat setempat dan penguasa tanah ulayat.
Semua itu, diawali dengan pengurusan izin usaha terkait penanaman modal kepada SKPD terkait di provinsi, kabupaten atau kota, sesuai peraturan perundang-undangan. Setelah perjanjian pemanfataan tanah ulayat ditandatangani pemodal dan penguasa tanah ulayat, maka seketika itu pula dilakukan penyerahan ganti kerugian untuk tanah yang digunakan langsung, dan kompensasi bagi pemilik tanah yang terkena dampak kegaiatan usaha. ”Hak pemodal untuk memperpanjang atau memperbarui kontrak pemanfaatan tanah ulayat bisa dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan, dan didasarkan persetujuan pemilik atau penguasa tanah ulayat,” kata Masrul Zein.
Soal pemulihan tanah ulayat yang habis masa pemanfaatannya, Masrul menjelaskan, itu dilakukan lewat pendelegasian kewenangan penguasaan atas tanah tersebut oleh pemerintah daerah kepada pemerintah nagari, untuk diteruskan kepada pemilik atau penguasa tanah ulayat. Apabila tanah ulayat nagari, maka pemulihan dilakukan dengan menjadikannya sebagai harta kekayaan nagari untuk sumber pendapatan nagari. Tanah itupun dapat dibagi-bagikan kepada kaum dan suku di nagari. ”Untuk ketentuan lebih lanjutnya diatur bupati atau wali kota setempat sesuai peraturan kepala daerah,” ucapnya.
Sengketa yang terjadi dalam pemanfaatan tanah ulayat untuk penanaman modal diselesaikan secara musyawarah dan mufakat untuk mencapai kesepakatan secara langsung melalui negosiasi . Dalam hal kata mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah nagari, KAN. LKAAM, camat , pemerintah daerah dan pihak ketiga lainnya yang independen sebagai mediator untuk melakukan mediasi sengketa.
“Apabila masih tidak tercapai kesepakatan, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase dan tidak menutup kemungkinan penanam modal dan pemilk atau penguasa tanah ulayat untuk menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan negeri setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan,” ucapnya
Pemanfaatan tanah ulayat untuk penanam modal yang telah berlangsung sebelum peraturan ini, dapat tetap melaksanakan dan dijamin hukum sampai masanya berakhir.
Kepala Biro Diklat LKAAM Sumbar Zainuddin Datuak Rajo Lengang menyambut baik adanya pergub tersebut. Menurutnya, pergub itu bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat pemilik ulayat, dan membuat nagari tidak bangkrut akibat asset nagari digarap pemodal.
”Kami mendukung pergub itu karena manfaatnya banyak untuk masyarakat. Kalau tanah ulayat dibagi-bagi dan diperjualbelikan, bisa miskin nagari tersebut. Pemprov sudah menyosialisasikan materi pergub itu ke kami sebelumnya, dan materi di pergub tersebut sudah sesuai kebutuhan terkait persoalan tanah ulayat. Pergub ini juga bisa mengantisipasi konflik pemanfaatan tanah ulayat,” tuturnya. (*)
Padang Ekspres 4 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar