Dalam sejarah kebesaran Islam, Mesir pernah beruntung memiliki seorang ulama besar yang bernama Al Laits bin Saad. Mungkin kita tidak mengenalnya. Tetapi, sejarah Islam begitu akrab dan memujinya.
Kita coba kenal secara singkat di awal, siapa Al Laits. Beliau dilahirkan di Mesir pada tahun 94 H. Usia kecilnya adalah usia ilmu dan duduk di hadapan masyayikh. Bahkan ia berkeliling negeri untuk
mendapatkan ilmu, selayaknya kebiasaan ahli ilmu. Hingga Al Laits menjadi seorang ahli ilmu yang besar dan terkenal tak hanya di Mesir. Sekelas Imam Ahmad pun memujinya: Al Laits banyak ilmunya dan shahih
haditsnya.
Tak hanya itu. Ia juga dikenal sebagai ulama yang kaya. Karenanya ia dikenal sangat dermawan. Ash Shafadi berkata: "Al Laits adalah salah seorang dermawan. Dikabarkan bahwa penghasilannya setahun 5000 Dinar. Dan uang itu disebarkan untuk silaturahim dan yang lainnya."
Manshur bin Ammar bercerita: "Aku pernah mendatangi Al Laits, dia memberikan 1000 Dinar dan berkata: jagalah hikmah/ilmu yang Allah berikan kepadamu."
Saat itu, kalau Mesir berbahagia dengan ulama sebesar Al Laits. Maka Madinah pun berbahagia dengan imam mereka, Imam Malik. Al Laits dan Malik memang sezaman. Bahkan sejarah mencatat surat menyurat yang sangat ilmiah dan penuh adab antara keduanya.
Hanya saja, kalimat Imam Syafi'i yang lama berguru kepada Imam Malik berikut ini mengejutkan sejarah, "Al Laits bin Saad lebih fakih (dalam fikihnya) dibandingkan Malik bin Anas, hanya saja murid-muridnya (Al
Laits) yang mengabaikannya." (Lihat Siyar A'lam An Nubala', Tarikh Dimasyq, Thobaqot Al Fuqoha' dan lainnya)
Mesir berduka dengan wafatnya Al Laits tahun 175 H (4 tahun sebelum wafatnya Malik). Khalid bin Abdussalam Ash Shadafi berkata: "Aku bersama ayahku menyaksikan jenazah Al Laits bin Saad. Belum pernah aku melihat jenazah yang lebih agung darinya. Aku melihat semua manusia bersedih.
Mereka saling menghibur di antara mereka sambil menangis. Aku berkata: Wahai ayah, seakan semua orang adalah murid dekat jenazah ini. Ayahku menjawab: Hai anakku, kamu tidak akan melihat orang seperti dia
selamanya."
Begitulah sedikit biografi orang sangat besar dalam sejarah Islam. Tulisan ini hanya ingin sedikit membahas kalimat Imam Asy Syafi'i yang mengejutkan itu. Asy Syafi'i adalah murid Imam Malik. Dia begitu
mengaguminya. Baik ilmu ataupun adabnya. Hingga Asy Syafi'i menjadi seorang ulama besar bahkan sejajar dengan gurunya itu. Tetapi Asy Syafi'i pula yang mengatakan bahwa Al Laits lebih fakih dari Malik. Itu
artinya Asy Syafi'i menyampaikan kepada kita bahwa ilmu Al Laits sungguh sangat luar biasa. Kalau kita melihat kebesaran dan kehebatan Malik, maka Al Laits lebih dari itu menurut Asy Syafi'i.
Tapi, ilmu-ilmu Al Laits tidak banyak yang sampai kepada kita. Tidak seperti ilmu-ilmu Malik yang bahkan menjadi sebuah madzhab besar di dunia Islam hingga hari ini.
Apa pasalnya?
Menurut Asy Syafi'I, masalah ada pada murid-murid Al Laits. Murid-murid Al Laits berbeda dengan murid-murid Malik. Murid-murid Al Laits tidak banyak mengabadikan pemikiran dan pendapat-pendapat Al Laits. Dan ini berbeda dengan Malik yang ilmunya dicatat dan diabadikan oleh para murid, di antaranya Asy Syafi'i sendiri.
Murid. Ya, ini merupakan unsur penting dalam pendidikan.
Dari kalimat Asy Syafi'i itu, kita harus belajar banyak. Bahwa seharusnya seorang guru tak hanya melihat murid sebagai orang yang menerima kebaikan budinya dan orang yang menerima jasa ilmunya. Karena
ternyata murid adalah orang yang berjasa besar kelak untuk mengabadikan sang guru bahkan setelah gurunya tiada.
Bukan hanya guru yang penting bagi murid. Tetapi murid juga penting bagi guru. Guru yang memberikan semua dirinya untuk dipelajari muridnya. Maka sepenting itulah kelak, murid mengabadikan kebesaran gurunya.
Itulah mengapa dalam sejarah Islam, murid terdekat dari seorang guru tak lagi disebut sebagai murid. Tetapi dikenal Shohib (jama': Ashhab) yang artinya sahabat. Seperti dua murid terdekat Abu Hanifah yang kelak
menjadi ulama besar seperti gurunya sekaligus mengabadikan kebesaran gurunya; Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani. Mereka berdua disebut: Shohiba Abi Hanifah (Dua sahabat dekat Abu Hanifah), yang artinya adalah dua murid dekat Abu Hanifah. Juga seperti kalimat Khalid bin Abdussalam Ash Shadafi di atas yang bertanya kepada ayahnya: seakan semua orang adalah shohib (sahabat=murid dekat) jenazah ini.
Maka, saya pun ingin mengucapkan:
Jazakumulloh athyabal jaza' (semoga Allah memberimu balasan terbaik)
Saya bukan siapa-siapa tanpa antum semua
Terimakasih, sahabat...
Budi Ashari
parentingnabawiyah.com
Kita coba kenal secara singkat di awal, siapa Al Laits. Beliau dilahirkan di Mesir pada tahun 94 H. Usia kecilnya adalah usia ilmu dan duduk di hadapan masyayikh. Bahkan ia berkeliling negeri untuk
mendapatkan ilmu, selayaknya kebiasaan ahli ilmu. Hingga Al Laits menjadi seorang ahli ilmu yang besar dan terkenal tak hanya di Mesir. Sekelas Imam Ahmad pun memujinya: Al Laits banyak ilmunya dan shahih
haditsnya.
Tak hanya itu. Ia juga dikenal sebagai ulama yang kaya. Karenanya ia dikenal sangat dermawan. Ash Shafadi berkata: "Al Laits adalah salah seorang dermawan. Dikabarkan bahwa penghasilannya setahun 5000 Dinar. Dan uang itu disebarkan untuk silaturahim dan yang lainnya."
Manshur bin Ammar bercerita: "Aku pernah mendatangi Al Laits, dia memberikan 1000 Dinar dan berkata: jagalah hikmah/ilmu yang Allah berikan kepadamu."
Saat itu, kalau Mesir berbahagia dengan ulama sebesar Al Laits. Maka Madinah pun berbahagia dengan imam mereka, Imam Malik. Al Laits dan Malik memang sezaman. Bahkan sejarah mencatat surat menyurat yang sangat ilmiah dan penuh adab antara keduanya.
Hanya saja, kalimat Imam Syafi'i yang lama berguru kepada Imam Malik berikut ini mengejutkan sejarah, "Al Laits bin Saad lebih fakih (dalam fikihnya) dibandingkan Malik bin Anas, hanya saja murid-muridnya (Al
Laits) yang mengabaikannya." (Lihat Siyar A'lam An Nubala', Tarikh Dimasyq, Thobaqot Al Fuqoha' dan lainnya)
Mesir berduka dengan wafatnya Al Laits tahun 175 H (4 tahun sebelum wafatnya Malik). Khalid bin Abdussalam Ash Shadafi berkata: "Aku bersama ayahku menyaksikan jenazah Al Laits bin Saad. Belum pernah aku melihat jenazah yang lebih agung darinya. Aku melihat semua manusia bersedih.
Mereka saling menghibur di antara mereka sambil menangis. Aku berkata: Wahai ayah, seakan semua orang adalah murid dekat jenazah ini. Ayahku menjawab: Hai anakku, kamu tidak akan melihat orang seperti dia
selamanya."
Begitulah sedikit biografi orang sangat besar dalam sejarah Islam. Tulisan ini hanya ingin sedikit membahas kalimat Imam Asy Syafi'i yang mengejutkan itu. Asy Syafi'i adalah murid Imam Malik. Dia begitu
mengaguminya. Baik ilmu ataupun adabnya. Hingga Asy Syafi'i menjadi seorang ulama besar bahkan sejajar dengan gurunya itu. Tetapi Asy Syafi'i pula yang mengatakan bahwa Al Laits lebih fakih dari Malik. Itu
artinya Asy Syafi'i menyampaikan kepada kita bahwa ilmu Al Laits sungguh sangat luar biasa. Kalau kita melihat kebesaran dan kehebatan Malik, maka Al Laits lebih dari itu menurut Asy Syafi'i.
Tapi, ilmu-ilmu Al Laits tidak banyak yang sampai kepada kita. Tidak seperti ilmu-ilmu Malik yang bahkan menjadi sebuah madzhab besar di dunia Islam hingga hari ini.
Apa pasalnya?
Menurut Asy Syafi'I, masalah ada pada murid-murid Al Laits. Murid-murid Al Laits berbeda dengan murid-murid Malik. Murid-murid Al Laits tidak banyak mengabadikan pemikiran dan pendapat-pendapat Al Laits. Dan ini berbeda dengan Malik yang ilmunya dicatat dan diabadikan oleh para murid, di antaranya Asy Syafi'i sendiri.
Murid. Ya, ini merupakan unsur penting dalam pendidikan.
Dari kalimat Asy Syafi'i itu, kita harus belajar banyak. Bahwa seharusnya seorang guru tak hanya melihat murid sebagai orang yang menerima kebaikan budinya dan orang yang menerima jasa ilmunya. Karena
ternyata murid adalah orang yang berjasa besar kelak untuk mengabadikan sang guru bahkan setelah gurunya tiada.
Bukan hanya guru yang penting bagi murid. Tetapi murid juga penting bagi guru. Guru yang memberikan semua dirinya untuk dipelajari muridnya. Maka sepenting itulah kelak, murid mengabadikan kebesaran gurunya.
Itulah mengapa dalam sejarah Islam, murid terdekat dari seorang guru tak lagi disebut sebagai murid. Tetapi dikenal Shohib (jama': Ashhab) yang artinya sahabat. Seperti dua murid terdekat Abu Hanifah yang kelak
menjadi ulama besar seperti gurunya sekaligus mengabadikan kebesaran gurunya; Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan Asy Syaibani. Mereka berdua disebut: Shohiba Abi Hanifah (Dua sahabat dekat Abu Hanifah), yang artinya adalah dua murid dekat Abu Hanifah. Juga seperti kalimat Khalid bin Abdussalam Ash Shadafi di atas yang bertanya kepada ayahnya: seakan semua orang adalah shohib (sahabat=murid dekat) jenazah ini.
Maka, saya pun ingin mengucapkan:
Jazakumulloh athyabal jaza' (semoga Allah memberimu balasan terbaik)
Saya bukan siapa-siapa tanpa antum semua
Terimakasih, sahabat...
Budi Ashari
parentingnabawiyah.com
0 komentar:
Posting Komentar